Sejarah
Perekonomian Indonesia
A).
Priode Kemerdekaan
Ø Masa
Demokrasi Liberal (1945 – 1959)
a. Masalah
yang dihadapi tahun 1945 – 1950
1) Rusaknya
prasarana-prasarana ekonomi akibat perang
2) Blokade
laut oleh Belanda sejak Nopember 1946 sehingga kegiatan ekonomi ekspor-impor
terhenti.
3) Agresi
Belanda I tahun 1947 dan Agresi belanda II tahun 1948.
4) Dimasyarakat
masih beredar mata uang rupiah Jepang sebanyak 4 miliar rupiah (nilainya rendah
sekali). Pemerintah RI mengeluarkan mata uang “ORI” pada bulan Oktober 1946 dan
rupiah Jepang diganti/ ditarik dengan nilai tukar Rp 100 (Jepang) = Rp 1 (ORI).
5) Pengeluaran
yang besar untuk keperluan tentara, menghadapi Agresi Belanda dan perang
gerilya. (Suroso, 1994).
b. Masalah yang dihadapi Tahun 1951 – 1959
1)
Silih bergantinya kabinet karena
pergolakan politik dalam negeri.
2)
Defisit APBN yang terus meningkat yang
ditutup dengan mencetak uang baru.
3)
Tingkat produksi yang merosot sampai 60%
(1952), 80% (1953) dibandingkan produksi tahun 1938.
4)
Jumlah uang beredar meningkat dari Rp
18,9 miliar (1957) menjadi Rp 29,9 miliar (1958) sehingga inflasi mencapai 50%.
5)
Ketegangan dengan Belanda akibat masalah
Irian Barat menyebabkan pengambilalihan
perusahaan[erusahaan asing (Barat). Sementara itu di daerah-daerah
terjadi pergolakan yang mengarah disintergrasi, seperti Dewan Banteng,
Permesta, PRRI (Suroso, 1994).
Selama
periode 1949-1956, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman
kolonialisasi. Sektor formal/ modern, seperti pertambangan, distribusi,
transpor, bankdan pertanian komersil, yang memiliki kontribusi lebih besar dari
pada sektor informal/ tradisional terhadap output nasional, didominasi oleh
perusahaan-perusahaan asing yang kebanyakan berorientasi ekspor komoditi primer
(Tulus Tambunan, 1996).
c.
Rencana dan Kebijaksanaan Ekonomi
Memang sebelum
pemerintahan Soeharto, Indonesia telah memiliki empat dokumenn perencanaan
pembangunan, yakni :
1) Rencana
dari Panitia Siasat Pembangunan Ekonomi yang diketuai Muhammad Hatta (1947).
2) Rencana
Urgensi Perekonomian (1951) – yang diusulkan oleh Soemitro Djojokusumo.
3)
Rencana Juanda (1955) – Rencana
Pembangunan Lima Tahun I meliputi kurun waktu 1956-1960.
4)
Rencana Delapan tahun “Pembangunan
Nasuional Semesta Berencana” pada masa demokrasi terpimpin ala Soekarno (Didin
S. Damanhuri,…..)
Ø MASA EKONOMI TERPIMPIN ( 1959 – 1966 )
a. Masalah yang dihadapi
1)
Selama Orde Lama telah terjadi
berbagai penyimpangan, dimana ekonomi terpimpin yang mula-mula disambut baik
oleh bung Hatta, ternyata berubah menjadi ekonomi komando yang statistik (serba
negara). Selama periode 1959 – 1966 ini perekonomian cepat memburuk dan inflasi
merajalela karena politik dijadikan panglima dan pembangunannnn ekonoi
disubordinasikan pada pembangunan politik. (Mubyarto, 1990).
2)
Ada hubungan yang erat antara jumlah
uang yang beredar dan tingkat harga (Stephen Genville dalam Anne Booth dan
McCawley, ed., 1990).
Tahun
|
DJUB (%)
|
DHarga (%)
|
1960
1961
1962
1963
1964
1965
1966
|
39
42
99
95
156
280
763
|
19
72
158
128
135
595
635
|
Sumber : Bank Indonesia, Laporan Tahunan
jakarta, Berbagai Edisi
Selama tahun 60-an
sumber penciptaan uang oleh sektor pemerintah merupakan penyebab terpenting
dari naiknya jumlah uang yang beredar.
3) Tahun
1960-an cadangan devisa yang sangat rendah mengakibatkan timbulnya kekurangan
bahan mentah dan suku cadang yang masih harus diimpor dan diperkirakan dalam
tahun 1966 sektor industri hanya bekerja 30% dari kapasitas yang ada (Peter
McCawley dalam Anne booth dan Peter McCawley, ed., 1990).
b. Rencana dan Kebijaksanaan Ekonomi
-
Rencana : pembangunan nasional
semesta berencana (PNSB) 1961-1969. Rencana pembangunan ini disusun
berlandasarkann “Manfesto Politik 1960” untuk meningkatkan kemakmuran rakyat
dengan azas ekonomi terpimpin.
-
Faktor yang menghambat/ kelemahannya
antara lain :
1)
Rencana ini tidak mengikuti
kaidah-kaidah ekonomi yang lazim.
2)
Defisit anggaran yang terus meningkat
yang mengakibatkan hyper inflasi.
3)
Kondisi ekonomi dan politik saat itu:
dari dunia luar (Barat) Indonesia sudah terkucilkan karena sikpanya yang
konfrontatif. Sementara di dalam negeri pemerintah selalu mendapat rongrongan
dari golongan kekuatan politik “kontra-revolusi” (Muhammad Sadli, Kompas, 27
Juni 1966, Penyunting Redaksi Ekonomi Harian Kompas, 1982).
-
Beberapa kebijaksanaan ekonomi –
keuangan:
1)
Dengan Keputusan Menteri Keuangan No.
1/M/61 tanggal 6 Januari 1961: Bank Indonesia dilarang
menerbitkan laporan keuangan/ statistik keuangan, termasuk analisis dan
perkembangan perekonomian Indonesia.
2)
Pada tanggal 28 Maret 1963
Presiden Soekarno memproklamirkan berlakunya Deklarasi Ekonomi dan pada tanggal
22 Mei 1963 pemerintah menetapkan berbagai peraturan negara di
bidang perdagangan dan kepegawaian.
3) Pokok perhatian diberikan pada aspek perbankan, namun nampaknya
perhatian ini diberikan dalam rangka penguasaan wewenang mengelola moneter di
tangan penguasa. Hal ini nampak dengan adanya dualisme dalam mengelola moneter.
(Suroso, 1994).
Ø MASA EKONOMI PANCASILA/ ORDER BARU (1966 – 1998)
B). MASA STABILISASI
DAN REHABILITASI (1966 – 1968)
- Masalah yang dihadapi
1). Menanggapi masalah ekonomi yang kin dengan
tajam disoroti oleh MPRS, maka Prof. Dr. Widjojo Nitisastro dalam percakapan
dengan wartawan Kompas menyatakan, bahwa sumber pokok kemerosotan ekonomi ialah
penyelewenangan pelaksanaan UUD 1945. sebagai misal pasal 33 yang selama
beberapa tahun ini dengan sengaja atau tidak telah didesak oleh
landasan-landasan ideal yang lain. Demikian pula realisasi Pancasila dalam
bidang ekonomi sering dilupakan. Misalnya sila Kedaulatan Rakyat tercermin
dalam pasal 23 yang mengatur anggaran belanja negara (Kompas, 29 Juni 1966,
Penyunting Redaksi Ekonomi Harian Kompas, 1982).
2). Periode ini dikenal sebagai periode
stabilisasi dan rehabilitasi sesuai dengan masalah pokok yang dihadapi, yaitu :
-
Meingkatnya inflasi yang mencapai 650%
pada tahun 1965
-
Turunnya produksi nasional di semua
sektor
-
Adanya dualisme pengawas dan pembinaan
perbankan. Dualisme ini muncul dari struktur organisasi perbankan yang
meletakkan Deputy Menteri bank Sentral dan Deputy Menteri Urusan Penertiban
bank dan Modal Swasta berada di bawah Menteri Keuangan. (Suroso, 1994).
a. Rencana
dan Kebijaksanaan Ekonomi
-
Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966
tentang :
Pembaharuan
kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan, tertanggal 5 Juli
1966, antara lain menetapkan :
b.
Program stabilisasi dan rehabilitasi :
1966 – 1968
v (jangka
pendek)
·
Skala Prioritasnya
1. Pengendalian
inflasi
2. Pencukupan
kebutuhan pangan
3. Rehabilitasi
prasarana ekonomi
4. Peningkatan
kegiatan ekspor
5. Pencukupan
kebutuhan sandang
·
Komponen Rencananya
1)
Rencana fisik dengan sasaran utama :
i.
Pemulihan dan peningkatan kapasitas
produksi (pangan, ekspor dan sandang)
ii.
Pemulihan dan peningkatan prasrana
ekonomi yang menunjang bidang-bidang tersebut.
2)
Rencana Moneter dengan sasaran utama :
(2)
Terjaminnya pembiayaan rupiah dan devisa
bagi pelaksanaan rencana fisik.
(3)
Pengendalian inflasi pada tingkat harga
yang relatif stabil sesuai dengan daya beli rakyat.
·
Tindakan dan Kebijaksanaan Pemerintah
1)
Tindakan pemerintah “banting stir” dari
ekonomi komando ke ekonomi bebas demokratis; dari ekonomi tertutup ke ekonomi
terbuka; dari anggaran defisit ke anggaran berimbang. (Mubyarto, 1988).
2)
Serangkaian kebijaksanaan Oktober 1966,
Pebruari 1967 dan Juli 1967 antara lain :
(1)
Kebijaksanaan kredit yang lebih selektif
(penentuan jumlah, arah, suku bunga)
(2)
Menseimbangkan/ menurunkann defisit APBN
dari 173,7% (1965), 127,3% (1966), 3,1% (1967) dan 0% (1968). (Suroso, 1994).
c. Rencana dan Kebijaksanaan Ekonomi
-
Ketetapan
MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang :
Pembaharuan kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan,
tertanggal 5 Juli 1966, antara lain menetapkan :
(1) Program stabilisasi dan rehabilitasi :
1966 – 1968
(jangka pendek)
·
Skala
Prioritasnya
1) Pengendalian inflasi
2) Pencukupan kebutuhan pangan
3) Rehabilitasi prasarana ekonomi
4) Peningkatan kegiatan ekspor
5) Pencukupan kebutuhan sandang
·
Komponen
Rencananya
3) Rencana fisik dengan sasaran utama :
(a) Pemulihan dan peningkatan kapasitas
produksi (pangan, ekspor dan sandang)
(b) Pemulihan dan peningkatan prasrana ekonomi
yang menunjang bidang-bidang tersebut.
4) Rencana Moneter dengan sasaran utama :
(1) Terjaminnya pembiayaan rupiah dan devisa
bagi pelaksanaan rencana fisik.
(2) Pengendalian inflasi pada tingkat harga
yang relatif stabil sesuai dengan daya beli rakyat.
·
Tindakan
dan Kebijaksanaan Pemerintah
1) Tindakan pemerintah “banting stir” dari
ekonomi komando ke ekonomi bebas demokratis; dari ekonomi tertutup ke ekonomi
terbuka; dari anggaran defisit ke anggaran berimbang. (Mubyarto, 1988).
2) Serangkaian kebijaksanaan Oktober 1966,
Pebruari 1967 dan Juli 1967 antara lain :
(1) Kebijaksanaan kredit yang lebih selektif
(penentuan jumlah, arah, suku bunga)
(2) Menseimbangkan/ menurunkann defisit APBN
dari 173,7% (1965), 127,3% (1966), 3,1% (1967) dan 0% (1968). (Suroso, 1994).
3) Mengesahkan / memberlakukan undang-undang
:
(1) UU Pokok Perbankan No. 14/ 1967
(2) UU Perkoperasian no. 12/ 1967
(3) UU Bank Sentral No. 13/ 1968
(4) UU PMA tahun 1967 dan UU PMDN tahun 1968
(5) Membuka Bursa Valas di Jakarta 1967.
(2) Program Pembangunan dimulai
tahun 1969/ 1970
(jangka panjang)
-
Skala Prioritasnya
1) Bidang pertanian
2) Bidang prasarana
3) Bidang industri/ pertambangan
dan minyak
-
Jangka waktu dan strategi pembangunan
1) Pembangunann jangka menengah terdiri dari
pembangunan Lima Tahun (PELITA) dan dimulai dengan PELITA I sejak tahun 1969/
1970
2) Pembangunan Jangka Panjang dimulai dengan
pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT – I) selama 25 tahun, terdiri dari :
§
PELITA
I 69 / 70 = 73 / 74
Titik berat pada sektor pertanian dan industri yang menunjang sektor
pertanian.
§
PELITA
II 74/75 – 78/79
Titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri
pengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
§
PELITA
III 79/80 – 83/84
Titik berat sektor pertanian (swasembada beras) dengan meningkatkan
industri pengolah bahan baku menjadi barang jadi.
§
PELITA
IV 84/85 – 88/89
Titik berat pertanian (melanjutkan swasembada pangan) dengan
meningkatkan industri penghasil mesin-mesin.
§
PELITA
V 89/90 – 93/94
Sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dengan
meningkatkan sektor industri penghasil komoditi ekspor, pengolah hasil
pertanian, penghasil mesin-mesin dan industri yang banyakk menyerap tenaga
kerja.
PELITA V meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan
selanjutnya. (Suroso, 1994).
Ø MASA PEMBANGUNAN EKONOMI (1969 – sekarang)
C). MASA OIL
BOOM (1973 – 1982)
-
Dua kali Oil Boom dalam PJPT I :
1) Oil
Boom I (1973/1974)
Oil Boom I terjadi
ketika harga minyak di pasar dunia melonjak dari US$1.67/ barrel (1970 menjadi
US$ 11.70/barrel (1973/74), karena adanya krisis minyak sebagai akibat tindakan
boikot negara-negara OPEC (timur Tengah) yang sedang konflik dengan Israel.
2) Oil
Boom II (1979/1980)
Harga minyak yang telah
menapai US$ 15.65/ barrel (1979) melonjak lagi menjadi US$ 29.50/ barrel
(1980), terus melonjak US$ 35.00 (1981 – 1982)
a. Masalah
yang dihadapi
Oil Boom disamping
memberi dampak positif juga membawa dampak negatif (masalah)
a) Dampak
Positif
Selama Pelita I, II, III (1973/74 – 1979/80) nilai
keseluruhan ekspor Indonesia meningkat :
1) Awal
Pelita I US$ 1 miliar meningkat menjadi US$ 3,6 miliar (akhir Pelita I)
2) Awal
Pelita II US$ 7,1 miliar meningkat menjadi US$ 11,3 miliar (akhir Pelita II).
3) Puncaknya
mencapai US$ 23,6 miliar pada tahun 1981/1982.
Laju pertumbuhan
ekonomi cednderung meningkat :
1) Tiap
Pelita rata-rata : 7% (Pelita I), 7,2% (Pelita II) dan 6,5% (Pelita III).
2) Terus
meningkat mencapai 9,9% (1980), kemudian menurun 7,9% (1981) dan merosot
menjadi 2,3% pada waktu resesi ekonomi tahun 1982. (Mubyarto, 1988).
b) Dampak
Negatif
1) Bangsa
Indonesia menjadi manja, hidupnya boros dan mewah seperti, terlihat :
-
Nilai ekspor naik 6,8 per tahun tapi
diikuti naiknya nilai impor yang lebih tinggi, yaitu 16,6% per tahun.
(Mubyarto, 1988).
-
Kebutuhan modal asing (pinjaman lunak)
tidak menurun: rata-rata US$ 562 juta per tahun (1970-1973), malahan meningkat
rata-rata US$ 1,646.9 juta per tahun (1974-1984), (Lampiran Pidato Kenegaraan
Presiden RI 15-8-1974 dalam Zulkarnain Djamin, 1993).
2) Bangsa
Indonesia menderita penyakit belanda (the Dutch disease), gejalanya terlihat
antara lain :
-
Laju inflasi dalam negeri lebih tinggi
dari inflasi dunia (negara partner dagang) sebagai akibat besarnya monetisasi
penerimaan negara dalam valas.
-
Defisit APBN (dalam rupiah) ditutup
dengan surplus penerimaan (dalam valas). Akibatnya jumlah uang beredar
meningkat, inflasi meningkat.
-
Laju pertumbuhan yang uang beredar jauh
lebih besar, rata-rata 34,9% sedang lalu pertumbuhan ekonomi rata-rata 8% per
tahun selama 1972 – 1981 (Anwar Nasutioan dalam Anwar Nasution, ed., 1985).
b.
Rencana dan Kebijaksanaan
Pemerintah
-
Masa Oil Boom (1973/74 –
1981/82) berlangsung sepanjang waktu pelaksanaan PELITA I – PELITA III (akhir
tahun PELITA I sampai pertengahan tahun PELITA III)
-
Kebijaksanaan tiga PELITA antara
lain (Suroso, 1994)
·
PELITA I ; sebagian besar anggaran
pemerintah dialokasikan di bidang ekonomi, yaitu 78,28%, untuk sektor pertanian
dan irigrasi, sektor perhubungan dan pariwisata, industri dan pertambangan
serta sektor pedesaan.
·
PELITA II : kebijaksanaan
ekonomi periode ini berkisar pada :
§ Kebijaksanaan stabilisasi 9 April 1974 (menyangkut aspek moneter,
fisikal dan perdaganagn).
§ Keibjaksanaan devaluasi rupiah terhadap dollar AS (kurang lebih 45%)
pada bulan Nopember 1978.
·
PELITA III : Unsur pemertaan
lebih ditekankann melalui delapan jalur pemeraataan-pemertaan:
§ 1. Kebutuhan pokok rakyat
(pangan, sandang)
2.
Kesempatan memperoleh
pendidikan, kesehatan
3.
Pembagian pendapatan
4.
Perluasan kesempatan kerja
5.
Usaha, terutama golongan
ekonomi lemah
6.
Kesempatan berpartisipasi (pemuda,
wanita
7.
Pembangunan antar daerah
8.
Kesempatan memperoleh keadilan
§ Kebijaksanaann
Januari 1982 : keringan kredit ekspor, penurunan biaya gudang, pelabuhan dan
bebas memiliki devisa.
§ Eksportir
dibebaskan dari kewajiban menjual devisa yang diperolehnya dari hasil ekspor
barang/ jasa kepada bank Indonesia.
§ Di
bidang impor juga diberikan keringnan bea masuk dan PPN Impor untuk
barang-barang tertentu.
§ Kebijakan
imbal beli Januari 1983 : mengatur ekspor-impor dengan cara imbal beli untuk
mengurangi pemakaian devisa.
§ Di
bidang perkreditan pelaksanaan KIK/ KMK semakin disempurnakan dengan Keppres
No. 18/1981
·
Pertumbuhan ekonomi pada periode ini
dihambat oleh reseeese dunia yang belum juga berakhir. Sementara itu nampak ada
kecenderungan harga minyak yang semakin menurun khususnya pada tahun-tahun
terakhir Repelita III. (Suroso, 1994).
2) Mengesahkan
/ memberlakukan undang-undang :
·
UU Pokok Perbankan No. 14/ 1967
·
UU Perkoperasian no. 12/ 1967
·
UU Bank Sentral No. 13/ 1968
·
UU PMA tahun 1967 dan UU PMDN tahun 1968
·
Membuka Bursa Valas di Jakarta 1967.
3) Program
Pembangunan dimulai tahun 1969/ 1970
(jangka panjang)
4) Skala
Prioritasnya
·
Bidang pertanian
·
Bidang prasarana
·
Bidang industri/ pertambangan dan minyak
5) Jangka
waktu dan strategi pembangunan
·
Pembangunann jangka menengah terdiri
dari pembangunan Lima Tahun (PELITA) dan dimulai dengan PELITA I sejak tahun
1969/ 1970
·
Pembangunan Jangka Panjang dimulai
dengan pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT – I) selama 25 tahun, terdiri
dari :
I.
PELITA I 69 / 70 - 73 / 74
Titik berat pada sektor
pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian.
II.
PELITA II 74/75 – 78/79
Titik berat pada sektor
pertanian dengan meningkatkan industri pengolah bahan mentah menjadi bahan
baku.
III.
PELITA III 79/80 – 83/84
Titik berat sektor pertanian
(swasembada beras) dengan meningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi
barang jadi.
IV.
PELITA IV 84/85 – 88/89
Titik berat pertanian
(melanjutkan swasembada pangan) dengan meningkatkan industri penghasil
mesin-mesin.
V.
PELITA V 89/90 – 93/94
Sektor pertanian untuk
memantapkan swasembada pangan dengan meningkatkan sektor industri penghasil
komoditi ekspor, pengolah hasil pertanian, penghasil mesin-mesin dan industri
yang banyakk menyerap tenaga kerja.
VI.
PELITA V
meletakkan landasan
yang kuat untuk tahap pembangunan selanjutnya. (Suroso, 1994).
D). MASA PASCA OIL BOOM
(1983 – 1987)
Ø Harga
minyak mencapai US$ 35.00/ per barrel (1981 – 1982), menurun lagi menjuadi US$
29.53/ barrel (1983 – 1984) dan tahun-tahun berikutnya harga berfluktuasi tidak
menentu. Sejak tahun 1983 perekonomian Indonesia memasuki masa Pasca Oil Boom
(Pasca Bonanza Minyak)
Ø Tahun
1986 terjadi goncangan ekonomi akibat merosotnya harga minyak sampai titik
terendah US$ 9,83/ barrel. Program refromasi ekonomi (pemulihan) mulai
menampakkan hasil pada tahun 1998.
a.
Masalah-masalah yang dihadapi
Merosotnya harga minyak
di pasar internasional sepanjang tahun 1983 – 1987 menimbulkan masalah berat
bagi perekonomian Indonesia karena penerimaan sektor migas menurun; defisit
transaksi berjalan dan defisit APBN meningkat.
Dampak turunnya harga
minyak :
1)
Penerimaan migas dari hasil ekspor
menurun 2,0% menjadi US$ 14.449 juta (1983/1987) dan menurun lagi 44,0% menjadi
US$ 6.966 juta (1986/1987).
2)
Defisit transaksi berjalan meningkat
dari US$2..888 juta menjadi US$4.151 juta (1983/1984) dan meningkat lagi dari
US$1.832 juta menjadi US$ 4.051 juta (1986/1987).
3)
Defisit APBN meningkat dari Rp 1.938
triliun menjadi Rp 2.742. triliun (1983/1984) dan meningkat lagi dari Rp 3.571
triliun menjadi Rp 3.589 triliun (1986/1987). Sedangkan anggaran pembangunan
berkurang Rp 2.777 triliun atau 23,7% dibanding tahun yang lalu karena pada
tahun 1986/1987 banyak proyek yang ditunda/ dipangkas. (angka-angka diolah
kembali dari laporan BI tahun yang bersangkutan).
b.
Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
Masa Pasca Oil Boom
terjadi pada tahun ke-5 PELITA III (1983/1984) sampai tahun ke-3 PELITA IV
(1986/1987).
Kebijaksanaan tahun
1983 – 1984 :
1)
Devaluasi Rupiah terhadap US Dollar (US$
1 = Rp 702 menjadi US$ = Rp 970) untuk memperkuat daya saing.
2)
Menekan pengeluaran pemerintah dengan
pengurangan subsidi dan penangguhan beberapa proyek pembangunan
3)
Kebijaksanaan moneter perbankan 1 Juni
1983 (PAKJUN 1983) :
-
Kebebasan menentukan suku bunga deposito
dan pinjaman bagi bank-bank pemerintah
-
Pemerintah menerbitkan SBI (Sertifikat
Bank Indonesia) sejak Pebruari 1984 dan memberikan fasilitas diskonto keapada
bank-bank umum yang mengalami kesulitan likuiditas (SBPU mulai digunakan
Pebruari 1985).
4)
Kebijaksanaan perpajakan : memberlakukan
seperangkat Undang-undang Pajak Nasional (1984).
(Laporan tahunan B.I.
1983/1984).
Kebijaksanaan Reformasi
Ekonomi 1986 – 1987 :
-
Kebijaksanaan ini terutama diarahkan
untuk mencegah memburuknya neraca pembayaran, mendorong ekspor non migas,
mendorong penanaman modal dan meningkatkan daya saing produk ekspor (non migas)
di pasar dunia.
(Laporan tahunan B.I.
1986/1987).
a)
Sektor Fiskal/ Moneter :
1) Pemerintah
melakukan penghematan antara lain dengan mengurangi subsidi; meningkatkan
penerimaan melalui intensiftikasi dan ekstensifikasi pemungutan pajak.
2) Devaluasi
rupiah terhadap US Dollar sebesar 31% (dari US$ 1 = Rp 970 menjadi US$ 1 = Rp
1.270)
3) Tidak
menaikkan suku bunga instrumen moneter untuk mendorong kegiatan ekonomi dan
pengerahan dana serta memperbaiki posisi neraca pembayaran.
4) Pemerintah
menghapus ketentuan pagu swap ke Bank Indonesia untuk mendoirong pemasukan
modal asing dan dana dari luar negeri (Laporan Tahunan B.I. 1986/ 1987).
b)
Sektor Riil (struktural) :
1) PAKMI
– 1986 (6 Mei 1986) menyangkut ekspor: kemudahan tata niaga, fasilitas
pembebasan dan pengembalian bea masuk, pembentukan kawasan berikat.
2) PAKTO
– 1986 ( 25 Oktober 1986) menyangkut impor: mengganti “sistem non tarif” dengan
“sistsem tarif” untuk mencegah manipulasi harga barang. Penyempurnaan bea masuk
dan bea masuk tambahan.
3) PAKDES
– 1986 (29 Desember 1986) : memberi kemudahan-kemudahan kepada
perusahaan-perusahaann industri strategis tertentu. (Laporan Tahunan B.I.
1986/1987).
Ø Program
penyesuaian ekonomi struktural dan reformasi ekonomi yang dilakukan pemerintah
Indonesia sejak anjloknya harga minyak di pasar dunia pada pertengahan tahun
1980-an mencakup empat katagori besar, yaitu : (1) pengaturan nilai tukar
rupiah (exchange rate management), (2) kebijakan fiskal, (3) kebijakan moneter
dan keuangan serta (4) kebijakan perdagangan dan deregulasi atau reformasi di
sektor riil dan moneter. (Tulus Tambunan, 1996).
Ø Beberapa
hasil Reformasi Ekonomi 1986 – 1987 :
1.
Laju pertumbuhan ekonomi meningkat dari
4,9% (1987) menjadi 5,8% (1988)
2.
Nilai total ekspor meningkat dari US$
17.206 juta (1987) menjadi US$ 19.509 juta (1988) Prosentasi ekspor non migas
meningkat dari 50,2% (1987) menjadi 59,8% (1988).
3.
Defisit transaksi berjalan menurun :
uS$2.269 juta (1987) menjadi US$1.552 juta (1988).
(Statistik
Keuangan 1991/1992, BPS)
Ø
Meskipun adanya perbaikan dalam
lingkungan ekonomi eksternal, termask pemulihan harga minyak, telah membantu
Indonesia dalam proses penyesuaiannya, usaha dan tindakan setelah tahun1986
berupa kebijaksanaan-kebijaksanaan struktural dan finansial yang tepat tela
memainkan peranan penting. Kebijaksanaan-kebijaksanaan penyesuaian yang
dijalankan sejak tahun 1986 telah memperkuat kemampuan ekonomi Indonesia untuk
berdaya tahan terhadap goncangan yang merugikan (Rustam Kamaluddin, 1989).
E). KEGIATAN EKONOMI MEMANAS (OVERHEATED) SEJAK 1990
Ø Masalah-masalah
yang dihadapi
Ø Kecenderungan
terjadinya ekspansi ekonomi berbarengan dengan ekspansi moneter, sehingga
ekonomi memanas (overheated) jika dibiarkan berlangsung terus akan membahayakan
kestabilan ahrga dalam negeri dan melemahkan kedudukan negara kita dalam
hubungan ekonomi internasional (khususnya dibidang neraca pembayaran luar
negeri).
Indikator Ekspansi Ekonomi
Ø Laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat : 5,8% (1988), 7,5% (1989), 7,1 (1990)
Ø Investasi dunia swasta yang meningkat : 15% (1983), 17% (1991). Pangsa investasi asing berkisar 25% dari total nilai investasi swasta domestik.
Indikator ekspansi Moneter
1)
Jumlah uang beredar meningkat : 40%
(189), 44% (1990)
2)
Kredit perbankan meningkat : 48% (1989),
menjadi 54% (1991)
3)
Laju inflasi meningkat : 5,5% (1988),
6,0% (1989) 9,5% (1990-1991)
4)
Defisit tahun berjalan meningkat :
US$1.6 miliar (1989), US$3.7 miliar (1990) dan US$4.5 miliar (1991). (Soemitro
Djojohadikusumo, 1993).
Ø Rencana
dan Kebijaksanaan Pemerintah
-
Berlangsungnya proses pemulihan ekonomi
sampai kegiatan ekonomi meningkat cepat sehingga memanas (overheated)
berlangsung selama tahun ke 4, ke 5 pelaksanaan PELITA IV dan tahun ke 1 PELITA
V (1987/1988 – 1989/1990) dan ekonomi memanas ini berlangsung terus sepanjang
PELITA V (1989/1990 – 1993/1994)
-
Kondisi ekonomi yang memanas perlu
didinginkan dengan kebijaksanaan uang ketat.
-
Kebijaksanaan uang ketat (TMP = tight
money policy)
Untuk “mendinginkan”
kondisi ekonomi yang terlalu panas dilakukan kebijaksanaan fiskal dan moneter/
perbankan :
1)
Meningkatnya penerimaan dalam negeri :
Rp 28.73 triliun (1989/1990), Rp 39,54 triliun (1990/1991), Rp 41,58 triliun
(1991/1992)
2)
Moneter / perbankan :
c) Membatasi
kredit bank melalui politik diskonto (suku bunga) didukung operasi pasar
terbuka dengan instrument SBI dan SBPU.
d) Mengawasi
likuiditas bank melalui ketentuan LDR (Loan to Deposit Ratio) dann CAR (Capital
Adequacy Ratio).
Dampak TMP :
pertumbuhan ekonomi menurun dari 6,6% (1991) menjadi 6,3% (1992) dan inflasi
menurun dari 9,5% (1991) menjadi 4,9% (1992). (Soemitro Djojohadikusumo, 1993:
angka-angka : Nota Keuangan dan Rancangan APBN 1994/1995).
F). KEGIATAN EKONOMI INDONESIA MENJADI OVERLOADED
TAHUN 1996
a.
Masalah-masalah yang dihadapi
Ø Meningkatnya
permintaan domestik, baik permintaan untuk konsumsi maupun investasi, yang
tidak disertai dengan meningkatnya penawaran yang memadai, menimbulkan tekanan pada gangguan keseimbangan internal
dan keseimbangan eksternal (Laporan Tahunan B.I. 1995/1996).
Ø
Gangguan Keseimbangan Internal :
1.
Meningkatnya pendapatan nasional dari Rp
300,6 triliunmenjadi Rp 323,5 triliun dan pengeluaran konsumsi rumah tangga
dari Rp 194,1 triliun menjadi Rp 206,3 triliun, yang tidak diimbangi dengan
meningkatnya penawaran, menyebabkan inflasi meningkat menjadi 8,9%.
2.
Meningkatnya investasi dari 15,3%
menjadi 16,4%, laju kenaikan kredit
rata-rata 24,8% (1993/1994 – 1995/1996) melebihi kenaikan dana bank rata-rata
sebesar 23,9% per tahun. Akibatnya suku bunga pinjaman meningkat dari 15,3%
menjadi 16,4%.
Ø Gangguan
keseimbangan eksternal
1.
Impor non migas mengalami pertumbuhan
sampai 19,8%, sedangkan ekspor non migas hanya meningkat 13,9%. Terjadi tekanan
pada Neraca pembayaran, sehingga defisit transaksi berjalan meningkat rationya
terhadap PDB dari 2% menjadi 3%. Akibatnya sektor luar negeri menjadi faktor
pengurang pada pembentukan PDB.
2.
Meningkatnya kebutuhan investasi yang
tidak diimbangi pergambahan dana bank dan adanya perbedaantingkat suku bunga
dalam negeri (lebih tinggi) dengan suku bungan di luar negeri, menyebabkan
surplus lalu lintas modal meningkat dari
US$ 4,8 miliar menjadi US$11.4 miliar, dimana sektor pemerintah defisit US$0,2
miliar sedangkan sektor swasta surplus US$11.6 miliar, terutama dari hutang
swasta ke luar negeri (laporan Tahunan, B.I. 1995/1996).
v Memperhatikan
perkembangan ekonomi sebagaimana yang ditunjukkan oleh indikator-indikator
ekonomi di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya fundamental ekonomi
Indonesia pada tahun1995/1996 sudah lemah. Hal ini bertentangan dengan
pernyataan pejabat resmi yang selalu meyakinkan masyarakat, bahwa masyarakat
tidak perlu khawatir karena fundamental ekonomi masih ”kuat”.
b.
Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
v Hingga
awal tahun 1997 dapat dikatakan bahwa hampir semua orang, di Indonesia maupun
dari badan-badan dunia seperti Bank Dunia, IMF dan ABD tidak menduga bahwa
beberapa negara di Asia akan mengalami suatu krisis moneter atau ekonomi yang
yang sangat besar sepanjang sejarah dunjia sejak akhir perang dunia kedua. Walaupun
sebenarnya sejak tahun 1995 ada sejumlah lembaga keuangan dunia (IMF dan Bank
Dunia) sudah beberapa kali memperingati Thailand dan Indonesia bahwa ekonomi
kedua negara tersebut sudah mulai memanas (overheating economy) kalau dibiarkan
terus (tidak segera didinginkan) akan berakibat buruk (Tulus Tambunan, 1998).
Kebijaksanaan Tahun 1995 – 1996
a)
Kebijaksanaan moneter : diarahkan untuk
mengendalikann sumber-sumber ekspansi M2, khususnya meningkatnya kredit bank
dan arus modal luar negeri melalui :
v Mekanisme
operasi pasar terbuka (OPT) dengan instrumen SBI dan SBPU
v Merubah
ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) menjadi 3%.
v Merubah
ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) secara bertahap mencapai
12%.
b)
Kebijaksanaan Valuta Asing/ Devisa :
diarahkan untuk mengurangi dorongan masuknya modal asing, terutama yang
berjangka pendek dengan cara :
1)
Meningkatkan fleksibelitas nilai tukar
rupiah melalui pelebaran spread kurs jual dan kurs beli rupiah terhadap Dollar
Amerika
2)
Menerapkan penggunaan batas kurs intervensi
(perbedaan batas atas dan batas bawwah sebesar Rp 66,00)
3)
Melakukan kerja sama bilateral dengan
otoritas moneter Malaysia, Singapura, Thailand, Hong Kong, Philipina melalui
transaksi repurchases agreement (repo) surat-surat berharga.
c)
Kebijaksanaan sektor Riil 4 Juni 1996 ;
dalam rangka meningkatkan efisiensi dan ketahanan ekonomi serta meningkatkan
efisiensi dan ketahanan ekonomi serta meningkatkan daya saing produksi
nasional, meliputi bidang :
1)
Bidang
impor mencakup
Antara lain adalah
penyederhanaan tata niaga impor.
2)
Dibidang ekspor mencakup :
Antara lain penghapusan
pemeriksaan barang ekspor oleh surveyor.
3)
Iklim Usaha
G). KRISIS MONETER BULAN JULI 1997 MENJADI KRISIS
EKONOMI
Ø Tidak
mudah menentukan apa faktor-faktor utama penyebab krisis ekonoim di Indonesia,
karena setiap gejolak ekonomi dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang langsung
(drect factors) dan faktor-faktor yang
tidak langsung (indirect factors) yang mempengaruhinya. Sselain itu dapat pula
dibedakan aadanya faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal, yang
mempengaruhi terjadinya krisis ekonomis, baik yang bersifat ekonomi maupun yang
bersifat noneknomis.
Ø Selain
faktor-faktor internal dan eksternal, ada tiga teori alternatif yang dapat juga
dipakai sebagai basic framework untuk menganalisis faktor-faktor penyebab
terjadinya krisis ekonomi di Asia (Tulus Tambunan, 1998).
a.
Faktor-faktor Internal
-
Fundamental ekonomi nasional yang
merupakan penyebab krisis ekonomi di Indonesia adala fundamental makro misalnya
: 1) pertumbuhan ekonomi, 2) pendapatan nasional, 3) tingkat inflasi, 4) jumlah
uang beredar, 5) jumlah pengangguran, 6) jumlah investasi, 7) keseimbangan
neraca pembayaran, 8) cadangan devisa dan 9) tingkat suku bunga.
-
Dilihaat dari fundamental ekonomi makro,
bukan hanya sektor moneter tapi juga sektor riil mempunyai kontribusi yang
besaar terhadap terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, karena dua alasan:
1) Perkembangann
sektor moneter sebenarnya sangat tergantung dari perkembangan sektor riil,
karena uang (valas) sudah menjadi komoditas yang diperdagangkan seperti
produk-produk dari sektor riil.
2) Perubahan
cadangan valas sangat sensitif terhadap
perubahan sektor riil (perdagangan luar negeri) dan salah satu penyebab
depresiasi nilai tukar rupiah yang menciptakan krisis ekonomi di Indonesia
adalah karena terbatasnya cadangan valas di Bank Indonesia.
b.
Faktor-faktor eksternal
-
Jepang dan Eropa Barat mengalami
kelesuan pertumbuhan ekonomi sejak awal dekade 90-an dan tingkat suku bunga
sangat rendah. Dana sangat melimpah sehingga sebagian besar arus modal swasta
mengalir ke negara-negara Asia Tenggara dan Timur, yang akhirnya membuat
krisis.
-
Daya saing Indonesia di Asia yang lemah,
sedang nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terlalu kuat (overvalued). (Tulus
Tambunan, 1998).
H). TERJADINYA KONTRAKSI EKONOMI SEJAK 1998
a.
Proses terjadinya kontraksi ekonomi
-
Penurunan nilai tukar ruiah yang tajam
disertai dengan terputusnya akses ke sumer dana luar negeri menyebabkan
turunnya produksi secara drastis dan berkurangnya kesempatan kerja.
-
Pada saat yang sama, kenaikan laju
inflasi yang tinggi dan penurunan penghasilan masyarakat menyebabkan merosotnya
daya beli sehingga kesejahteraan masyarakat menurun drastis dan kantong-kantong
kemiskinan semakin meluas.
b.
Indikator kontraksi ekonomi
Indikator
Makroekonomi Tahun 1998
Rincian
|
Triwulan I
|
Triwulan II
|
Triwulan III
|
Triwulan IV
|
Perubahan % |
||||
Produk domestik bruto riil
(Tahun dasar 1993)
|
-4,0
|
-12,3
|
-18,4
|
19,5
|
Pengeluaran konsumsi
|
2,4
|
4,8
|
-13,7
|
-9,5
|
Inflasi IHK
|
39,1
|
56,7
|
82,4
|
77
|
Suku bunga PUAB
|
51,8
|
64,6
|
66,2
|
33,4
|
Nilai tukar (Rp$)
|
14,900
|
10,700
|
8,025
|
8,685
|
-
Berbagai permasalahan nonekonomi muncul
dalam waktu yang relatif bersamaan :
(1)
Kerusuhan sosial yang menyebabkan
berbagai kerusakan di sektor produksi maupun distribusi
(2)
Jaringan distribusi yang tidak berfungsi
sepenuhnya disertai panis buying.
(3)
Pergantian kepemimpinan nasional dan
proses konsolidasi pemerintahan baru turut memperlambat pemulihan stabilitas
ekonomi, sosial dan politik.
b.
Pada tahun 1998 PDB Riil menyusut 13,7%
yang terutama disebabkan oleh kegiatan investasi dan konsumsi swastaa yang
merosot tajam. Penurunan kegiatan investasi berkaitan dengan makin memburuknya
ketidakseimbangan neraca dunia usaha, memburuknya kondisi perbankan, rendahnya
kepercayaan investor dari sluar negeri.
H).
Perekonomian Indonesia Tahun 2001 s/d 2008
Rancangan APBN tahun 2001
merupakan rencana pembangunan tahunan (Repeta) pertama dari pelaksanaan program
pembangunan nasional (PROPENAS) sebagai penjabaran dari GBHN 1999-2001,
disamping merupakan tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah an dsentralisasi
fiskal. Beban RAPBN 2001 tersebut sangat berat, karena dituntut untuk dapat
mendorong terciptanya stabilitas dalam perekonomian, memberikan stimulus
terbatas bagi kegiatan ekonomi, juga harus mampu mendukung pelaksanaan
desentralisasi fiskal. Sementara itu, hampir seluruh pendapatan negara dan
hibah (sekitar 99 persen) akan terserap untuk pengeluaran yang bersifat wajib
dan tidak terelakan (non-discretionary expenditures) yaitu untuk belanja
pegawai pusat (15,18 persen), bunga utang (29,08 persen), subsidi (20,49
persen), dan dana perimbangan (31,02 persen). Sebagai akibat, kapasitas dan
ruang gerak kebijakan fiskal untuk mengakomodasikan berbagai program percepatan
pemulihan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi sangat
terbatas.
Sebagaimana digariskan dalam
GBHN 1999-2001, upaya mendesak yang harus dilakukan dalam mempercepat pemulihan
ekonomi, mengatasi kemiskinan serta pengangguran yang semakin meningkat selama
krisis adalah mempertahankan stabilitas ekonomi, membenahi dunia perbankan dan
dunia usaha, serta meningkatkan realokasi sumber daya pembangunan. Kontibusi
kebijakan fiskal dalam mendorong percepatan pemulihan ekonomi yang dijabarkan
dalam RAPBN 2001 pada intinya diarahkan pada upaya untuk
Ø mendorong
terciptanya stabilitas ekonomi makro dan merangsang minat investasi dalam dan
luar negeri melalui formulasi APBN yang dilakukan secara hati-hati, disiplin,
dan serealistis mungkin, dan
Ø memberdayakan
masyarakat dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada
mekanisme pasar melalui realokasi sumber daya pembangunan yang lebih
diprioritaskan pada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di pedesaan,
memacu pengembangan usaha skala mikro, kecil, menengah dan koperasi, serta
meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani dan nelayan.
Dari sisi pendapatan negara,
rasio perpajakan terhadap PDB cenderung meningkat dari sebesar 13,0 persen
dalam tahun 2002 menjadi 13,5 persen dalam tahun 2003, dan diperkirakan menjadi
sebesar 14,0 persen dalam APBN-P tahun 2004. Sementara itu rasio pajak non
migas juga cenderung meningkat. Hal ini dilakukan terutama melalui
langkah-langkah ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Dari sisi belanja
negara, rasio belanja negara terhadap PDB relatif stabil sejalan dengan
langkah-langkah efisiensi dan efektivitas anggaran negara. Dalam tahun 2002
sampai dengan tahun 2004, rasio belanja negara terhadap PDB masing-masing
mencapai sebesar 20 persen, 21,1 persen, dan 21,6 persen. Dengan
langkah-langkah peningkatan kapasitas pendapatan negara dan pengendalian
belanja negara, secara bertahap defisit anggaran dapat diturunkan dalam
beberapa tahun terakhir. Defisit anggaran dalam tahun 2002 dapat ditekan
menjadi 1,5 persen terhadap PDB. Meskipun defisit tersebut mengalami
peningkatan dalam tahun 2003 menjadi sebesar 2,0 persen terhadap PDB, namun
dalam tahun 2004, defisit anggaran negara diperkirakan dapat ditekan kembali
menjadi sekitar 1,3 persen terhadap PDB. Relatif tingginya defisit dalam tahun
2003 disebabkan oleh kebutuhan stimulasi fiskal yang antara lain untuk
mengantisipasi dampak negatif pemboman di Bali pada akhir tahun 2002.
Kebijakan fiskal dalam tahun
2004 telah memberikan harapan kepada pasar bahwa ketahanan fiskal pemerintah
dapat terjaga. Realisasi defisit dalam APBN-P 2004 mencapai sebesar 1,3 persen
terhadap PDB, lebih rendah dari realisasi defisit APBN tahun 2003 yang mencapai
2,0 persen terhadap PDB. Lebih dari itu, kelancaran proses divestasi pada
beberapa BUMN menunjukkan bahwa kebijakan pembiayaan APBN yang diambil
Pemerintah telah sesuai dengan arah yang telah digariskan dalam tahun 2004. Hal
tersebut didukung pula dengan kelancaran sisa penjualan aset-aset BPPN yang
melebihi target dan kesuksesan penerbitan obligasi luar negeri pemerintah.
Kesemuanya itu pada gilirannya meningkatkan kepercayaan pasar, memberikan hasil
yang positif, dan mengurangi hambatan-hambatan dalam pencapaian sasaran-sasaran
APBN 2004.
APBN tahun 2005 merupakan APBN
pertama yang disusun berdasarkan mekanisme pembahasan dan format baru
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara. Karena itu, penyusunan APBN 2005 dilakukan dengan berpedoman pada
Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Kerangka Ekonomi Makro, dan Pokok-pokok
Kebijakan Fiskal tahun 2005 sebagaimana telah dibahas bersama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam Pembicaraan Pendahuluan RAPBN 2005.
Sebagai APBN transisi, APBN 2005 disusun sedemikian rupa, sehingga mencerminkan
keseimbangan antara kebutuhan untuk menjamin terjaganya konsistensi arah dan
kesinambungan proses konsolidasi fiskal, dengan menyediakan ruang gerak yang
cukup bagi inisiatif baru oleh Pemerintah dan DPR hasil Pemilu 2004, di
wilayah-wilayah kebijakan yang strategis, seperti kebijakan belanja gaji bagi
PNS/TNI/Polri dan pensiunan, belanja subsidi BBM dan non-BBM, penetapan
prioritas alokasi anggaran, serta alternatif dan komposisi sumber-sumber
pembiayaan defisit.
Dengan kerangka kebijakan
demikian, tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan kebijakan fiskal pada APBN
2005 masih cukup berat dan semakin kompleks. Tantangan pokoknya tidak hanya
terfokus pada upaya mengendalikan defisit anggaran semata, melainkan bergeser
kepada masalah pemenuhan kebutuhan pembiayaan dibanding dengan sumber-sumber
pembiayaan anggaran yang terbatas (financing gap). Hal ini disebabkan
terutama oleh membengkaknya beban kewajiban pembayaran pokok utang, baik utang
dalam negeri maupun utang luar negeri dalam jumlah yang sangat besar. Kewajiban
tersebut harus dipenuhi seluruhnya dan secara tepat waktu, oleh karena sebagai
konsekuensi dari diakhirinya program kerjasama dengan IMF, sejak tahun 2004
Pemerintah tidak lagi dapat memanfaatkan fasilitas penjadwalan ulang (rescheduling)
utang luar negeri melalui forum Paris Club (PC).
Kondisi tersebut mengisyaratkan
perlunya strategi kebijakan fiskal tahun 2005 tetap dijaga agar konsisten dalam
mendorong upaya peningkatan penerimaan negara, mengendalikan dan mengefisienkan
belanja negara, serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan
anggaran. Strategi ini memerlukan langkah-langkah pembaharuan (reformasi) yang
berkelanjutan pada berbagai jenis instrumen fiskal, yang meliputi (i) bidang
perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), (ii) penganggaran
belanja negara, (iii) pengelolaan utang dan optimalisasi pembiayaan
anggaran, serta (iv) penataan kelembagaan keuangan negara.
Pada
tahun 2006, perekonomian Indonesia telah menghadapi tantangan yang sangat
berat. Tantangan tersebut timbul sebagai dampak kenaikan harga BBM di dalam
negeri pada bulan Oktober 2005. Dalam upaya pemerintah untuk menjaga
sustainabilitas APBN, pengurangan subsidi BBM dan pemanfaatan penerimaan
minyak bumi untuk pengeluaran yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat
melalui pembangunan infrastruktur yang penting merupakan kebijakan yang perlu
ditempuh. Kondisi perekonomian pada semester I 2006 ditandai dengan penurunan
tingkat konsumsi masyarakat yang diikuti dengan penurunan tingkat produksi
dan rendahnya investasi. Selain itu, laju inflasi dan tingkat bunga juga
meningkat dengan tajam hingga kurang kondusif bagi dunia usaha untuk
melakukan ekspansi. Pelemahan ekonomi pada semester I 2006 yang memang telah
diperkirakan, mulai dapat teratasi pada semester II 2006. Kecepatan pemulihan
ekonomi untuk kembali tumbuh lebih tinggi merupakan hasil dari berbagai upaya
pemerintah dalam bentuk ekspansi fiskal untuk melindungi daya beli masyarakat
miskin (seperti pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Operasi
Sekolah (BOS), pengobatan gratis bagi keluarga miskin) dan juga koordinasi
kebijakan makro yang baik dari pemerintah dan Bank Indonesia (BI) secara
bertahap telah mengembalikan stabilitas ekonomi.
Memasuki
semester II 2006, kondisi perekonomian menunjukkan pembalikan dengan arah
yang positif. Hingga akhir tahun 2006, indikator-indikator makro ekonomi
menunjukkan bahwa ekonomi tumbuh sebesar 5,48%; tingkat inflasi mencapai 6,6%
(y-o-y); BI rate mencapai 9,75%; nilai tukar rupiah sekitar Rp9.167/US$; dan
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menembus level 1.800. Perkembangan positif
tersebut terus berlanjut hingga kuartal I 2007. Pertumbuhan Produk Domestik
Bruto (PDB) kuartal I 2007 diproyeksikan mencapai kisaran antara 5,7% s.d.
5,9% (y-o-y). Laju pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari laju pertumbuhan
PDB di kuartal yang sama tahun 2006 (4.98%). Peningkatan laju pertumbuhan
ekonomi tersebut dapat diindikasikan melalui perbaikan kinerja konsumsi
masyarakat dan pemerintah, investasi, serta ekspor barang dan jasa. Perbaikan
indikator ekonomi makro pada kuartal I tahun 2007 selain memberikan sinyal
positif atas upaya pencapaian sasaran pertumbuhan 2007 sebesar 6,3%, juga
menjadi modal untuk menentukan sasaran pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
pada tahun 2008.
Pada prinsipnya,
pelaksanaan kebijakan fiskal pada tahun 2008 diarahkan untuk memberikan
dukungan dan panduan bagi arah perekonomian dalam rangka pencapaian misi-misi
pembangunan yang termuat dalam RPJM yaitu: mewujudkan Indonesia yang aman dan
damai, mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis, dan mewujudkan
Indonesia yang sejahtera. Sementara prioritas kegiatan pembangunan tahun 2008
dirumuskan dalam penetapan tema pembangunan yaitu: percepatan pertumbuhan
ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran.
|
I).
Perekonomian Indonesia Tahun 2009 s/d 2011
Alokasi
belanja negara dalam RAPBN 2009 sebesar Rp1.122 triliun dengan komposisi
belanja departemen (31%), subsidi (21%), bunga utang (10%), dan dana daerah
(28%). Dengan demikian, lebih dari 70% alokasi RAPBN 2009 dipergunakan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemerintah
pusat mengendalikan Rp818 triliun dan lebih dari Rp312 triliun lewat
dapartemen. Pencairan anggaran yang selama ini menjadi masalah, dari waktu ke
waktu telah menunjukkan perbaikan. Program revitalisasi pertanian selama tiga
tahun terakhir ini berhasil mendorong swasembada pangan. Pada saat dunia
mengalami tekanan harga pangan yang tinggi, dan munculnya kecenderungan
proteksionisme global dalam bentuk larangan ekspor komoditas pangan, kita mampu
mengamankan ketahanan pangan. Jaringan transportasi dan telekomunikasi dari
Sabang sampai Merauke, dari Sangihe Talaud sampai Pulau Rote, penyelesaian
jalur dan jaringan telekomunikasi (Palapa Ring) di wilayah Indonesia Timur,
misalnya, merupakan salah satu perekat utama Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Jaringan ini juga menjadi tulang punggung distribusi, baik barang
dan penumpang maupun jasa, serta penting dalam peningkatan produksi. Untuk mempercepat
pembangunan infrastruktur, pemerintah menempuh beberapa jalur utama. Pada 2009,
belanja infrastruktur ditingkatkan, sehingga memungkinkan penyelesaian beberapa
proyek besar di antaranya Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu), Bandara Kuala
Namu di Sumatra Utara, dan Bandara Hasanuddin di Sulawesi Selatan. Juga
beberapa jalan arteri dan jalan akses, seperti lintas pantai selatan Jawa dan
pulau-pulau terpencil serta terluar. Pembangunan rail link kereta api
Manggarai-Bandara Cengkareng, jalur KA ganda Kroya-Kutoarjo, Cirebon Kroya, dan
Tegal-Pekalongan. Pengembangan pelabuhan strategis di Belawan, Manokwari,
Bitung, Bojonegara, dan Manado juga dilakukan penyelesaiannya pada 2009.
Di sektor kelistrikan program 10.000 MW
diharapkan secara bertahap akan menghilangkan krisis pasok listrik di semua
belahan Nusantara. Mulai pertengahan 2009, krisis listrik di Jawa-Bali
diharapkan teratasi. Program ini juga diharapkan mengurangi ketergantungan PLN
terhadap bahan bakar minyak (BBM). Pemerintah juga membuka kesempatan
seluas-luasnya bagi perusahaan swasta untuk ikut membangun dan mengusahakan
kegiatan infrastruktur secara adil, kompetitif, dan transparan. Untuk
pembangunan jalan tol trans-java dan JORR di wilayah Jabodetabek, telah
disediakan dana pembelian tanah dan risiko biaya pengadaan tanah untuk 28 ruas
jalan kepada kontraktor swasta pemenang tender.
Sedangkan pada
tahun 2010 pokok-pokok kebijakan fiskal yang dijalankan adalah:
Ø Meneruskan/meningkatkan seluruh program kesejahteraan
rakyat (PNPM, BOS, Jamkesmas, Raskin, PKH dan berbagai subsidi lainnya)
Ø Melanjutkan stimulus fiskal melalui pembangunan
infrastruktur, pertanian dan energi, serta proyek padat karya
Ø Mendorong pemulihan dunia usaha termasuk melalui
pemberian insentif perpajakan dan bea masuk
Ø Meneruskan reformasi birokrasi
Ø Menjaga anggaran pendidikan 20%.
Sejalan dengan
perkembangan positif ekonomi global, kinerja perekonomian domestik di sepanjang
2010 juga menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan. Dari sisi ekonomi makro,
stabilitas berbagai indikator ekonomi relatif terjaga dengan kecenderungan
semakin menguat. Sedangkan dari sisi sektor riil, kinerja berbagai indikator
sektor riil seperti konsumsi, investasi, maupun ekspor dan impor juga terus
menunjukkan perbaikan dan penguatan yang cukup signifikan. Dengan memperhatikan
berbagai perkembangan ekonomi dan keuangan terkini baik secara global maupun
domestik, kinerja ekonomi Indonesia di tahun 2011 akan semakin baik dan
diperkirakan mampu tumbuh 6,3 persen. Perkiraan ini jauh lebih tinggi bila
dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi negara ASEAN-5 yang sebesar
5,5 persen.
Sasaran
kebijakan ekonomi makro dalam tahun 2011 meliputi: (1) meningkatnya pertumbuhan
ekonomi berkelanjutan, dan (2) terjaganya stabilitas ekonomi yang kokoh. Dalam
tahun 2011, pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai sebesar 6,3 persen, yang
didukung oleh meningkatnya investasi dan ekspor nonmigas, dan pulihnya sektor
produksi terutama sektor industri dan pertanian. Selain itu, Pemerintah terus
berusaha menjaga tingkat konsumsi masyarakat, antara lain melalui terkendalinya
laju inflasi dan pemberian subsidi energi (listrik dan BBM). Stabilitas ekonomi
diupayakan melalui pengendalian laju inflasi dan volatilitas nilai tukar
rupiah. Melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabilitas ekonomi yang
terjaga, tingkat pengangguran dan kemiskinan diharapkan akan menurun.
DAFTAR PUSTAKA
Ø http://www.fiskal.depkeu.go.id,
diakses 17 maret 2012.
Ø
http://putracenter.net/2008/12/11/kebijakan-fiskal-pemerintah-indonesia/,
diakses 17 maret 2012.
Ø
http://www.setneg.go.id/,diakses
17 maret 2012
Ø
http://penxpower.wordpress.com/2009/02/20/berbagai-kebijakan-pemerintah-dalam-perekonomian-indonesia/,
diakses 17 maret 2012
Ø
http://adie-wongindonesia.blogspot.com/2010/02/kebijakan-fiskal.html,
diakses 17 maret 2012
Ø http://www.tempo.co/hg/perbankan_keuangan/2010,
diakses 17 maret 2012
Ø
http://adie-wongindonesia.blogspot.com/2010/02/kebijakan-fiskal.html,
diakses 17 maret 2012
Ø http://www.wiziq.com/tutorial/39767-Kebijakan-Fiskal,
diakses 17 maret 2012
Ø
http://tugas-cilukba.blogspot.com/2010/04/kerangka-kebijakan-fiskal-2010.html,
diakses 17 maret 2012
Ø http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/,
diakses 17 maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar