Sabtu, 02 Juni 2012

“SEJARAH KEBIJAKAN FISKAL DI INDONESIA”

Sejarah Perekonomian Indonesia
 

A). Priode Kemerdekaan
Ø  Masa Demokrasi Liberal (1945 – 1959)
a.       Masalah yang dihadapi tahun 1945 – 1950
1)      Rusaknya prasarana-prasarana ekonomi akibat perang
2)      Blokade laut oleh Belanda sejak Nopember 1946 sehingga kegiatan ekonomi ekspor-impor terhenti.
3)      Agresi Belanda I tahun 1947 dan Agresi belanda II tahun 1948.
4)      Dimasyarakat masih beredar mata uang rupiah Jepang sebanyak 4 miliar rupiah (nilainya rendah sekali). Pemerintah RI mengeluarkan mata uang “ORI” pada bulan Oktober 1946 dan rupiah Jepang diganti/ ditarik dengan nilai tukar Rp 100 (Jepang) = Rp 1 (ORI).
5)      Pengeluaran yang besar untuk keperluan tentara, menghadapi Agresi Belanda dan perang gerilya. (Suroso, 1994).
b.      Masalah yang dihadapi Tahun 1951 – 1959
1)      Silih bergantinya kabinet karena pergolakan politik dalam negeri.
2)      Defisit APBN yang terus meningkat yang ditutup dengan mencetak uang baru.
3)      Tingkat produksi yang merosot sampai 60% (1952), 80% (1953) dibandingkan produksi tahun 1938.
4)      Jumlah uang beredar meningkat dari Rp 18,9 miliar (1957) menjadi Rp 29,9 miliar (1958) sehingga inflasi mencapai 50%.
5)      Ketegangan dengan Belanda akibat masalah Irian Barat menyebabkan pengambilalihan  perusahaan[erusahaan asing (Barat). Sementara itu di daerah-daerah terjadi pergolakan yang mengarah disintergrasi, seperti Dewan Banteng, Permesta, PRRI (Suroso, 1994).
Selama periode 1949-1956, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi. Sektor formal/ modern, seperti pertambangan, distribusi, transpor, bankdan pertanian komersil, yang memiliki kontribusi lebih besar dari pada sektor informal/ tradisional terhadap output nasional, didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing yang kebanyakan berorientasi ekspor komoditi primer (Tulus Tambunan, 1996).
c.       Rencana dan Kebijaksanaan Ekonomi
Memang sebelum pemerintahan Soeharto, Indonesia telah memiliki empat dokumenn perencanaan pembangunan, yakni :
1)      Rencana dari Panitia Siasat Pembangunan Ekonomi yang diketuai Muhammad Hatta (1947).
2)      Rencana Urgensi Perekonomian (1951) – yang diusulkan oleh Soemitro Djojokusumo.
3)      Rencana Juanda (1955) – Rencana Pembangunan Lima Tahun I meliputi kurun waktu 1956-1960.
4)      Rencana Delapan tahun “Pembangunan Nasuional Semesta Berencana” pada masa demokrasi terpimpin ala Soekarno (Didin S. Damanhuri,…..)

Ø  MASA EKONOMI TERPIMPIN ( 1959 – 1966 )
a.       Masalah yang dihadapi
1)      Selama Orde Lama telah terjadi berbagai penyimpangan, dimana ekonomi terpimpin yang mula-mula disambut baik oleh bung Hatta, ternyata berubah menjadi ekonomi komando yang statistik (serba negara). Selama periode 1959 – 1966 ini perekonomian cepat memburuk dan inflasi merajalela karena politik dijadikan panglima dan pembangunannnn ekonoi disubordinasikan pada pembangunan politik. (Mubyarto, 1990).
2)      Ada hubungan yang erat antara jumlah uang yang beredar dan tingkat harga (Stephen Genville dalam Anne Booth dan McCawley, ed., 1990).

Tahun
DJUB (%)
DHarga (%)
1960
1961
1962
1963
1964
1965
1966
39
42
99
95
156
280
763
19
72
158
128
135
595
635
                        Sumber : Bank Indonesia, Laporan Tahunan jakarta, Berbagai Edisi
Selama tahun 60-an sumber penciptaan uang oleh sektor pemerintah merupakan penyebab terpenting dari naiknya jumlah uang yang beredar.
3)      Tahun 1960-an cadangan devisa yang sangat rendah mengakibatkan timbulnya kekurangan bahan mentah dan suku cadang yang masih harus diimpor dan diperkirakan dalam tahun 1966 sektor industri hanya bekerja 30% dari kapasitas yang ada (Peter McCawley dalam Anne booth dan Peter McCawley, ed., 1990).
b.      Rencana dan Kebijaksanaan Ekonomi
-          Rencana : pembangunan nasional semesta berencana (PNSB) 1961-1969. Rencana pembangunan ini disusun berlandasarkann “Manfesto Politik 1960” untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dengan azas ekonomi terpimpin.
-          Faktor yang menghambat/ kelemahannya antara lain :
1)      Rencana ini tidak mengikuti kaidah-kaidah ekonomi yang lazim.
2)      Defisit anggaran yang terus meningkat yang mengakibatkan hyper inflasi.
3)      Kondisi ekonomi dan politik saat itu: dari dunia luar (Barat) Indonesia sudah terkucilkan karena sikpanya yang konfrontatif. Sementara di dalam negeri pemerintah selalu mendapat rongrongan dari golongan kekuatan politik “kontra-revolusi” (Muhammad Sadli, Kompas, 27 Juni 1966, Penyunting Redaksi Ekonomi Harian Kompas, 1982).
-          Beberapa kebijaksanaan ekonomi – keuangan:
1)      Dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1/M/61 tanggal 6 Januari 1961: Bank Indonesia dilarang menerbitkan laporan keuangan/ statistik keuangan, termasuk analisis dan perkembangan perekonomian Indonesia.
2)      Pada tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno memproklamirkan berlakunya Deklarasi Ekonomi dan pada tanggal 22 Mei 1963 pemerintah menetapkan berbagai peraturan negara di bidang perdagangan dan kepegawaian.
3)      Pokok perhatian diberikan pada aspek perbankan, namun nampaknya perhatian ini diberikan dalam rangka penguasaan wewenang mengelola moneter di tangan penguasa. Hal ini nampak dengan adanya dualisme dalam mengelola moneter. (Suroso, 1994).

Ø  MASA EKONOMI PANCASILA/ ORDER BARU (1966 – 1998)
B). MASA STABILISASI DAN REHABILITASI (1966 – 1968)
  1. Masalah yang dihadapi
1).     Menanggapi masalah ekonomi yang kin dengan tajam disoroti oleh MPRS, maka Prof. Dr. Widjojo Nitisastro dalam percakapan dengan wartawan Kompas menyatakan, bahwa sumber pokok kemerosotan ekonomi ialah penyelewenangan pelaksanaan UUD 1945. sebagai misal pasal 33 yang selama beberapa tahun ini dengan sengaja atau tidak telah didesak oleh landasan-landasan ideal yang lain. Demikian pula realisasi Pancasila dalam bidang ekonomi sering dilupakan. Misalnya sila Kedaulatan Rakyat tercermin dalam pasal 23 yang mengatur anggaran belanja negara (Kompas, 29 Juni 1966, Penyunting Redaksi Ekonomi Harian Kompas, 1982).
2).      Periode ini dikenal sebagai periode stabilisasi dan rehabilitasi sesuai dengan masalah pokok yang dihadapi, yaitu :
-          Meingkatnya inflasi yang mencapai 650% pada tahun 1965
-          Turunnya produksi nasional di semua sektor
-          Adanya dualisme pengawas dan pembinaan perbankan. Dualisme ini muncul dari struktur organisasi perbankan yang meletakkan Deputy Menteri bank Sentral dan Deputy Menteri Urusan Penertiban bank dan Modal Swasta berada di bawah Menteri Keuangan. (Suroso, 1994).

a.      Rencana dan Kebijaksanaan Ekonomi
-          Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang :
Pembaharuan kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan, tertanggal 5 Juli 1966, antara lain menetapkan :
b.      Program stabilisasi dan rehabilitasi : 1966 – 1968
v  (jangka pendek)
·         Skala Prioritasnya
1.      Pengendalian inflasi
2.      Pencukupan kebutuhan pangan
3.      Rehabilitasi prasarana ekonomi
4.      Peningkatan kegiatan ekspor
5.      Pencukupan kebutuhan sandang
·         Komponen Rencananya
1)      Rencana fisik dengan sasaran utama :
                                                                                                  i.      Pemulihan dan peningkatan kapasitas produksi (pangan, ekspor dan sandang)
                                                                                                ii.      Pemulihan dan peningkatan prasrana ekonomi yang menunjang bidang-bidang tersebut.
2)      Rencana Moneter  dengan sasaran utama :
(2)   Terjaminnya pembiayaan rupiah dan devisa bagi pelaksanaan rencana fisik.
(3)   Pengendalian inflasi pada tingkat harga yang relatif stabil sesuai dengan daya beli rakyat.
·         Tindakan dan Kebijaksanaan Pemerintah
1)      Tindakan pemerintah “banting stir” dari ekonomi komando ke ekonomi bebas demokratis; dari ekonomi tertutup ke ekonomi terbuka; dari anggaran defisit ke anggaran berimbang. (Mubyarto, 1988).
2)      Serangkaian kebijaksanaan Oktober 1966, Pebruari 1967 dan Juli 1967 antara lain :
(1)   Kebijaksanaan kredit yang lebih selektif (penentuan jumlah, arah, suku bunga)
(2)   Menseimbangkan/ menurunkann defisit APBN dari 173,7% (1965), 127,3% (1966), 3,1% (1967) dan 0% (1968). (Suroso, 1994).
c.       Rencana dan Kebijaksanaan Ekonomi
-          Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang :
Pembaharuan kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan, tertanggal 5 Juli 1966, antara lain menetapkan :
(1)    Program stabilisasi dan rehabilitasi : 1966 – 1968
(jangka pendek)
·         Skala Prioritasnya
1)      Pengendalian inflasi
2)      Pencukupan kebutuhan pangan
3)      Rehabilitasi prasarana ekonomi
4)      Peningkatan kegiatan ekspor
5)      Pencukupan kebutuhan sandang
·         Komponen Rencananya
3)      Rencana fisik dengan sasaran utama :
(a)    Pemulihan dan peningkatan kapasitas produksi (pangan, ekspor dan sandang)
(b)   Pemulihan dan peningkatan prasrana ekonomi yang menunjang bidang-bidang tersebut.
4)      Rencana Moneter  dengan sasaran utama :
(1)    Terjaminnya pembiayaan rupiah dan devisa bagi pelaksanaan rencana fisik.
(2)    Pengendalian inflasi pada tingkat harga yang relatif stabil sesuai dengan daya beli rakyat.
·         Tindakan dan Kebijaksanaan Pemerintah
1)      Tindakan pemerintah “banting stir” dari ekonomi komando ke ekonomi bebas demokratis; dari ekonomi tertutup ke ekonomi terbuka; dari anggaran defisit ke anggaran berimbang. (Mubyarto, 1988).
2)      Serangkaian kebijaksanaan Oktober 1966, Pebruari 1967 dan Juli 1967 antara lain :
(1)    Kebijaksanaan kredit yang lebih selektif (penentuan jumlah, arah, suku bunga)
(2)    Menseimbangkan/ menurunkann defisit APBN dari 173,7% (1965), 127,3% (1966), 3,1% (1967) dan 0% (1968). (Suroso, 1994).

3)      Mengesahkan / memberlakukan undang-undang :
(1)    UU Pokok Perbankan No. 14/ 1967
(2)    UU Perkoperasian no. 12/ 1967
(3)    UU Bank Sentral No. 13/ 1968
(4)    UU PMA tahun 1967 dan UU PMDN tahun 1968
(5)    Membuka Bursa Valas di Jakarta 1967.

(2)    Program Pembangunan dimulai tahun 1969/ 1970
(jangka panjang)
-          Skala Prioritasnya
1)      Bidang pertanian
2)      Bidang prasarana
3)      Bidang industri/ pertambangan dan minyak
-          Jangka waktu dan strategi pembangunan
1)      Pembangunann jangka menengah terdiri dari pembangunan Lima Tahun (PELITA) dan dimulai dengan PELITA I sejak tahun 1969/ 1970
2)      Pembangunan Jangka Panjang dimulai dengan pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT – I) selama 25 tahun, terdiri dari :
§  PELITA I 69 / 70 = 73 / 74
Titik berat pada sektor pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian.
§  PELITA II 74/75 – 78/79
Titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
§  PELITA III 79/80 – 83/84
Titik berat sektor pertanian (swasembada beras) dengan meningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi barang jadi.
§  PELITA IV 84/85 – 88/89
Titik berat pertanian (melanjutkan swasembada pangan) dengan meningkatkan industri penghasil mesin-mesin.
§  PELITA V 89/90 – 93/94
Sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dengan meningkatkan sektor industri penghasil komoditi ekspor, pengolah hasil pertanian, penghasil mesin-mesin dan industri yang banyakk menyerap tenaga kerja.

PELITA V meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan selanjutnya. (Suroso, 1994).



Ø  MASA PEMBANGUNAN EKONOMI (1969 – sekarang)
C). MASA OIL BOOM (1973 – 1982)
-          Dua kali Oil Boom dalam PJPT I :
1)      Oil Boom I (1973/1974)
Oil Boom I terjadi ketika harga minyak di pasar dunia melonjak dari US$1.67/ barrel (1970 menjadi US$ 11.70/barrel (1973/74), karena adanya krisis minyak sebagai akibat tindakan boikot negara-negara OPEC (timur Tengah) yang sedang konflik dengan Israel.
2)      Oil Boom II (1979/1980)
Harga minyak yang telah menapai US$ 15.65/ barrel (1979) melonjak lagi menjadi US$ 29.50/ barrel (1980), terus melonjak US$ 35.00 (1981 – 1982)
a.       Masalah yang dihadapi
Oil Boom disamping memberi dampak positif juga membawa dampak negatif (masalah)
a)      Dampak Positif
Selama Pelita  I, II, III (1973/74 – 1979/80) nilai keseluruhan ekspor Indonesia meningkat :
1)      Awal Pelita I US$ 1 miliar meningkat menjadi US$ 3,6 miliar (akhir Pelita I)
2)      Awal Pelita II US$ 7,1 miliar meningkat menjadi US$ 11,3 miliar (akhir Pelita II).
3)      Puncaknya mencapai US$ 23,6 miliar pada tahun 1981/1982.
Laju pertumbuhan ekonomi cednderung meningkat :
1)      Tiap Pelita rata-rata : 7% (Pelita I), 7,2% (Pelita II) dan 6,5% (Pelita III).
2)      Terus meningkat mencapai 9,9% (1980), kemudian menurun 7,9% (1981) dan merosot menjadi 2,3% pada waktu resesi ekonomi tahun 1982. (Mubyarto, 1988).

b)      Dampak Negatif
1)      Bangsa Indonesia menjadi manja, hidupnya boros dan mewah seperti, terlihat :
-          Nilai ekspor naik 6,8 per tahun tapi diikuti naiknya nilai impor yang lebih tinggi, yaitu 16,6% per tahun. (Mubyarto, 1988).
-          Kebutuhan modal asing (pinjaman lunak) tidak menurun: rata-rata US$ 562 juta per tahun (1970-1973), malahan meningkat rata-rata US$ 1,646.9 juta per tahun (1974-1984), (Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI 15-8-1974 dalam Zulkarnain Djamin, 1993).
2)      Bangsa Indonesia menderita penyakit belanda (the Dutch disease), gejalanya terlihat antara lain :
-          Laju inflasi dalam negeri lebih tinggi dari inflasi dunia (negara partner dagang) sebagai akibat besarnya monetisasi penerimaan negara dalam valas.
-          Defisit APBN (dalam rupiah) ditutup dengan surplus penerimaan (dalam valas). Akibatnya jumlah uang beredar meningkat, inflasi meningkat.
-          Laju pertumbuhan yang uang beredar jauh lebih besar, rata-rata 34,9% sedang lalu pertumbuhan ekonomi rata-rata 8% per tahun selama 1972 – 1981 (Anwar Nasutioan dalam Anwar Nasution, ed., 1985).
b.      Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
-          Masa Oil Boom (1973/74 – 1981/82) berlangsung sepanjang waktu pelaksanaan PELITA I – PELITA III (akhir tahun PELITA I sampai pertengahan tahun PELITA III)
-          Kebijaksanaan tiga PELITA antara lain  (Suroso, 1994)
·         PELITA I ; sebagian besar anggaran pemerintah dialokasikan di bidang ekonomi, yaitu 78,28%, untuk sektor pertanian dan irigrasi, sektor perhubungan dan pariwisata, industri dan pertambangan serta sektor pedesaan.
·         PELITA II : kebijaksanaan ekonomi periode ini berkisar pada :
§  Kebijaksanaan stabilisasi 9 April 1974 (menyangkut aspek moneter, fisikal dan perdaganagn).
§  Keibjaksanaan devaluasi rupiah terhadap dollar AS (kurang lebih 45%) pada bulan Nopember 1978.
·         PELITA III : Unsur pemertaan lebih ditekankann melalui delapan jalur pemeraataan-pemertaan:
§  1.   Kebutuhan pokok rakyat (pangan, sandang)
2.      Kesempatan memperoleh pendidikan, kesehatan
3.      Pembagian pendapatan
4.      Perluasan kesempatan kerja
5.      Usaha, terutama golongan ekonomi lemah
6.      Kesempatan berpartisipasi (pemuda, wanita
7.      Pembangunan antar daerah
8.      Kesempatan memperoleh keadilan
§  Kebijaksanaann Januari 1982 : keringan kredit ekspor, penurunan biaya gudang, pelabuhan dan bebas memiliki devisa.
§  Eksportir dibebaskan dari kewajiban menjual devisa yang diperolehnya dari hasil ekspor barang/ jasa kepada bank Indonesia.
§  Di bidang impor juga diberikan keringnan bea masuk dan PPN Impor untuk barang-barang tertentu.
§  Kebijakan imbal beli Januari 1983 : mengatur ekspor-impor dengan cara imbal beli untuk mengurangi pemakaian devisa.
§  Di bidang perkreditan pelaksanaan KIK/ KMK semakin disempurnakan dengan Keppres No. 18/1981
·         Pertumbuhan ekonomi pada periode ini dihambat oleh reseeese dunia yang belum juga berakhir. Sementara itu nampak ada kecenderungan harga minyak yang semakin menurun khususnya pada tahun-tahun terakhir Repelita III. (Suroso, 1994).
2)      Mengesahkan / memberlakukan undang-undang :
·         UU Pokok Perbankan No. 14/ 1967
·         UU Perkoperasian no. 12/ 1967
·         UU Bank Sentral No. 13/ 1968
·         UU PMA tahun 1967 dan UU PMDN tahun 1968
·         Membuka Bursa Valas di Jakarta 1967.
3)      Program Pembangunan dimulai tahun 1969/ 1970
(jangka panjang)
4)      Skala Prioritasnya
·         Bidang pertanian
·         Bidang prasarana
·         Bidang industri/ pertambangan dan minyak
5)      Jangka waktu dan strategi pembangunan
·         Pembangunann jangka menengah terdiri dari pembangunan Lima Tahun (PELITA) dan dimulai dengan PELITA I sejak tahun 1969/ 1970
·         Pembangunan Jangka Panjang dimulai dengan pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT – I) selama 25 tahun, terdiri dari :
                                                                                                                   I.            PELITA I 69 / 70 - 73 / 74
Titik berat pada sektor pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian.
                                                                                                                II.            PELITA II 74/75 – 78/79
Titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
                                                                                                             III.            PELITA III 79/80 – 83/84
Titik berat sektor pertanian (swasembada beras) dengan meningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi barang jadi.
                                                                                                             IV.            PELITA IV 84/85 – 88/89
Titik berat pertanian (melanjutkan swasembada pangan) dengan meningkatkan industri penghasil mesin-mesin.
                                                                                                                V.            PELITA V 89/90 – 93/94
Sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dengan meningkatkan sektor industri penghasil komoditi ekspor, pengolah hasil pertanian, penghasil mesin-mesin dan industri yang banyakk menyerap tenaga kerja.
                                                                                                             VI.            PELITA V
meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan selanjutnya. (Suroso, 1994).

D). MASA PASCA OIL BOOM (1983 – 1987)
Ø Harga minyak mencapai US$ 35.00/ per barrel (1981 – 1982), menurun lagi menjuadi US$ 29.53/ barrel (1983 – 1984) dan tahun-tahun berikutnya harga berfluktuasi tidak menentu. Sejak tahun 1983 perekonomian Indonesia memasuki masa Pasca Oil Boom (Pasca Bonanza Minyak)
Ø Tahun 1986 terjadi goncangan ekonomi akibat merosotnya harga minyak sampai titik terendah US$ 9,83/ barrel. Program refromasi ekonomi (pemulihan) mulai menampakkan hasil pada tahun 1998.
a.       Masalah-masalah yang dihadapi
Merosotnya harga minyak di pasar internasional sepanjang tahun 1983 – 1987 menimbulkan masalah berat bagi perekonomian Indonesia karena penerimaan sektor migas menurun; defisit transaksi berjalan dan defisit APBN meningkat.
Dampak turunnya harga minyak :
1)      Penerimaan migas dari hasil ekspor menurun 2,0% menjadi US$ 14.449 juta (1983/1987) dan menurun lagi 44,0% menjadi US$ 6.966 juta (1986/1987).
2)      Defisit transaksi berjalan meningkat dari US$2..888 juta menjadi US$4.151 juta (1983/1984) dan meningkat lagi dari US$1.832 juta menjadi US$ 4.051 juta (1986/1987).
3)      Defisit APBN meningkat dari Rp 1.938 triliun menjadi Rp 2.742. triliun (1983/1984) dan meningkat lagi dari Rp 3.571 triliun menjadi Rp 3.589 triliun (1986/1987). Sedangkan anggaran pembangunan berkurang Rp 2.777 triliun atau 23,7% dibanding tahun yang lalu karena pada tahun 1986/1987 banyak proyek yang ditunda/ dipangkas. (angka-angka diolah kembali dari laporan BI tahun yang bersangkutan).
b.      Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
Masa Pasca Oil Boom terjadi pada tahun ke-5 PELITA III (1983/1984) sampai tahun ke-3 PELITA IV (1986/1987).
Kebijaksanaan tahun 1983 – 1984 :
1)      Devaluasi Rupiah terhadap US Dollar (US$ 1 = Rp 702 menjadi US$ = Rp 970) untuk memperkuat daya saing.
2)      Menekan pengeluaran pemerintah dengan pengurangan subsidi dan penangguhan beberapa proyek pembangunan
3)      Kebijaksanaan moneter perbankan 1 Juni 1983 (PAKJUN 1983) :
-          Kebebasan menentukan suku bunga deposito dan pinjaman bagi bank-bank pemerintah
-          Pemerintah menerbitkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) sejak Pebruari 1984 dan memberikan fasilitas diskonto keapada bank-bank umum yang mengalami kesulitan likuiditas (SBPU mulai digunakan Pebruari 1985).
4)      Kebijaksanaan perpajakan : memberlakukan seperangkat Undang-undang Pajak Nasional (1984).
(Laporan tahunan B.I. 1983/1984).
Kebijaksanaan Reformasi Ekonomi  1986 – 1987 :
-          Kebijaksanaan ini terutama diarahkan untuk mencegah memburuknya neraca pembayaran, mendorong ekspor non migas, mendorong penanaman modal dan meningkatkan daya saing produk ekspor (non migas) di pasar dunia.
(Laporan tahunan B.I. 1986/1987).
a)      Sektor Fiskal/ Moneter :
1)      Pemerintah melakukan penghematan antara lain dengan mengurangi subsidi; meningkatkan penerimaan melalui intensiftikasi dan ekstensifikasi pemungutan pajak.
2)      Devaluasi rupiah terhadap US Dollar sebesar 31% (dari US$ 1 = Rp 970 menjadi US$ 1 = Rp 1.270)
3)      Tidak menaikkan suku bunga instrumen moneter untuk mendorong kegiatan ekonomi dan pengerahan dana serta memperbaiki posisi neraca pembayaran.
4)      Pemerintah menghapus ketentuan pagu swap ke Bank Indonesia untuk mendoirong pemasukan modal asing dan dana dari luar negeri (Laporan Tahunan B.I. 1986/ 1987).
b)      Sektor Riil (struktural) :
1)      PAKMI – 1986 (6 Mei 1986) menyangkut ekspor: kemudahan tata niaga, fasilitas pembebasan dan pengembalian bea masuk, pembentukan kawasan berikat.
2)      PAKTO – 1986 ( 25 Oktober 1986) menyangkut impor: mengganti “sistem non tarif” dengan “sistsem tarif” untuk mencegah manipulasi harga barang. Penyempurnaan bea masuk dan bea masuk tambahan.
3)      PAKDES – 1986 (29 Desember 1986) : memberi kemudahan-kemudahan kepada perusahaan-perusahaann industri strategis tertentu. (Laporan Tahunan B.I. 1986/1987).
Ø  Program penyesuaian ekonomi struktural dan reformasi ekonomi yang dilakukan pemerintah Indonesia sejak anjloknya harga minyak di pasar dunia pada pertengahan tahun 1980-an mencakup empat katagori besar, yaitu : (1) pengaturan nilai tukar rupiah (exchange rate management), (2) kebijakan fiskal, (3) kebijakan moneter dan keuangan serta (4) kebijakan perdagangan dan deregulasi atau reformasi di sektor riil dan moneter. (Tulus Tambunan, 1996).
Ø  Beberapa hasil Reformasi Ekonomi 1986 – 1987 :
1.      Laju pertumbuhan ekonomi meningkat dari 4,9% (1987) menjadi 5,8% (1988)
2.      Nilai total ekspor meningkat dari US$ 17.206 juta (1987) menjadi US$ 19.509 juta (1988) Prosentasi ekspor non migas meningkat dari 50,2% (1987) menjadi 59,8% (1988).
3.      Defisit transaksi berjalan menurun : uS$2.269 juta (1987) menjadi US$1.552 juta (1988).
(Statistik Keuangan 1991/1992, BPS)
Ø  Meskipun adanya perbaikan dalam lingkungan ekonomi eksternal, termask pemulihan harga minyak, telah membantu Indonesia dalam proses penyesuaiannya, usaha dan tindakan setelah tahun1986 berupa kebijaksanaan-kebijaksanaan struktural dan finansial yang tepat tela memainkan peranan penting. Kebijaksanaan-kebijaksanaan penyesuaian yang dijalankan sejak tahun 1986 telah memperkuat kemampuan ekonomi Indonesia untuk berdaya tahan terhadap goncangan yang merugikan (Rustam Kamaluddin, 1989).

E). KEGIATAN EKONOMI MEMANAS (OVERHEATED) SEJAK 1990
Ø  Masalah-masalah yang dihadapi
Ø  Kecenderungan terjadinya ekspansi ekonomi berbarengan dengan ekspansi moneter, sehingga ekonomi memanas (overheated) jika dibiarkan berlangsung terus akan membahayakan kestabilan ahrga dalam negeri dan melemahkan kedudukan negara kita dalam hubungan ekonomi internasional (khususnya dibidang neraca pembayaran luar negeri).
Indikator Ekspansi Ekonomi
Ø  Laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat : 5,8% (1988), 7,5% (1989), 7,1 (1990)
Ø  Investasi dunia swasta yang meningkat : 15% (1983), 17% (1991). Pangsa investasi asing berkisar 25% dari total nilai investasi swasta domestik.

Indikator ekspansi Moneter
1)      Jumlah uang beredar meningkat : 40% (189), 44% (1990)
2)      Kredit perbankan meningkat : 48% (1989), menjadi 54% (1991)
3)      Laju inflasi meningkat : 5,5% (1988), 6,0% (1989) 9,5% (1990-1991)
4)      Defisit tahun berjalan meningkat : US$1.6 miliar (1989), US$3.7 miliar (1990) dan US$4.5 miliar (1991). (Soemitro Djojohadikusumo, 1993).

Ø  Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
-          Berlangsungnya proses pemulihan ekonomi sampai kegiatan ekonomi meningkat cepat sehingga memanas (overheated) berlangsung selama tahun ke 4, ke 5 pelaksanaan PELITA IV dan tahun ke 1 PELITA V (1987/1988 – 1989/1990) dan ekonomi memanas ini berlangsung terus sepanjang PELITA V  (1989/1990 – 1993/1994)
-          Kondisi ekonomi yang memanas perlu didinginkan dengan kebijaksanaan uang ketat.
-          Kebijaksanaan uang ketat (TMP = tight money policy)
Untuk “mendinginkan” kondisi ekonomi yang terlalu panas dilakukan kebijaksanaan fiskal dan moneter/ perbankan :
1)      Meningkatnya penerimaan dalam negeri : Rp 28.73 triliun (1989/1990), Rp 39,54 triliun (1990/1991), Rp 41,58 triliun (1991/1992)
2)      Moneter / perbankan :
c)      Membatasi kredit bank melalui politik diskonto (suku bunga) didukung operasi pasar terbuka dengan instrument SBI dan SBPU.
d)     Mengawasi likuiditas bank melalui ketentuan LDR (Loan to Deposit Ratio) dann CAR (Capital Adequacy Ratio).
Dampak TMP : pertumbuhan ekonomi menurun dari 6,6% (1991) menjadi 6,3% (1992) dan inflasi menurun dari 9,5% (1991) menjadi 4,9% (1992). (Soemitro Djojohadikusumo, 1993: angka-angka : Nota Keuangan dan Rancangan APBN 1994/1995).




F). KEGIATAN EKONOMI INDONESIA MENJADI OVERLOADED TAHUN 1996
a.       Masalah-masalah yang dihadapi
Ø  Meningkatnya permintaan domestik, baik permintaan untuk konsumsi maupun investasi, yang tidak disertai dengan meningkatnya penawaran yang memadai, menimbulkan  tekanan pada gangguan keseimbangan internal dan keseimbangan eksternal (Laporan Tahunan B.I. 1995/1996).
Ø  Gangguan Keseimbangan Internal :
1.      Meningkatnya pendapatan nasional dari Rp 300,6 triliunmenjadi Rp 323,5 triliun dan pengeluaran konsumsi rumah tangga dari Rp 194,1 triliun menjadi Rp 206,3 triliun, yang tidak diimbangi dengan meningkatnya penawaran, menyebabkan inflasi meningkat menjadi 8,9%.
2.      Meningkatnya investasi dari 15,3% menjadi 16,4%, laju kenaikan  kredit rata-rata 24,8% (1993/1994 – 1995/1996) melebihi kenaikan dana bank rata-rata sebesar 23,9% per tahun. Akibatnya suku bunga pinjaman meningkat dari 15,3% menjadi 16,4%.
Ø  Gangguan keseimbangan eksternal
1.      Impor non migas mengalami pertumbuhan sampai 19,8%, sedangkan ekspor non migas hanya meningkat 13,9%. Terjadi tekanan pada Neraca pembayaran, sehingga defisit transaksi berjalan meningkat rationya terhadap PDB dari 2% menjadi 3%. Akibatnya sektor luar negeri menjadi faktor pengurang pada pembentukan PDB.
2.      Meningkatnya kebutuhan investasi yang tidak diimbangi pergambahan dana bank dan adanya perbedaantingkat suku bunga dalam negeri (lebih tinggi) dengan suku bungan di luar negeri, menyebabkan surplus lalu  lintas modal meningkat dari US$ 4,8 miliar menjadi US$11.4 miliar, dimana sektor pemerintah defisit US$0,2 miliar sedangkan sektor swasta surplus US$11.6 miliar, terutama dari hutang swasta ke luar negeri (laporan Tahunan, B.I. 1995/1996).
v  Memperhatikan perkembangan ekonomi sebagaimana yang ditunjukkan oleh indikator-indikator ekonomi di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya fundamental ekonomi Indonesia pada tahun1995/1996 sudah lemah. Hal ini bertentangan dengan pernyataan pejabat resmi yang selalu meyakinkan masyarakat, bahwa masyarakat tidak perlu khawatir karena fundamental ekonomi masih ”kuat”.

b.      Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
v  Hingga awal tahun 1997 dapat dikatakan bahwa hampir semua orang, di Indonesia maupun dari badan-badan dunia seperti Bank Dunia, IMF dan ABD tidak menduga bahwa beberapa negara di Asia akan mengalami suatu krisis moneter atau ekonomi yang yang sangat besar sepanjang sejarah dunjia sejak akhir perang dunia kedua. Walaupun sebenarnya sejak tahun 1995 ada sejumlah lembaga keuangan dunia (IMF dan Bank Dunia) sudah beberapa kali memperingati Thailand dan Indonesia bahwa ekonomi kedua negara tersebut sudah mulai memanas (overheating economy) kalau dibiarkan terus (tidak segera didinginkan) akan berakibat buruk (Tulus Tambunan, 1998).

Kebijaksanaan Tahun 1995 – 1996

a)      Kebijaksanaan moneter : diarahkan untuk mengendalikann sumber-sumber ekspansi M2, khususnya meningkatnya kredit bank dan arus modal luar negeri melalui :
v  Mekanisme operasi pasar terbuka (OPT) dengan instrumen SBI dan SBPU
v  Merubah ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) menjadi 3%.
v  Merubah ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) secara bertahap mencapai 12%.
b)      Kebijaksanaan Valuta Asing/ Devisa : diarahkan untuk mengurangi dorongan masuknya modal asing, terutama yang berjangka pendek dengan cara :
1)      Meningkatkan fleksibelitas nilai tukar rupiah melalui pelebaran spread kurs jual dan kurs beli rupiah terhadap Dollar Amerika
2)      Menerapkan penggunaan batas kurs intervensi (perbedaan batas atas dan batas bawwah sebesar Rp 66,00)
3)      Melakukan kerja sama bilateral dengan otoritas moneter Malaysia, Singapura, Thailand, Hong Kong, Philipina melalui transaksi repurchases agreement (repo) surat-surat berharga.
c)      Kebijaksanaan sektor Riil 4 Juni 1996 ; dalam rangka meningkatkan efisiensi dan ketahanan ekonomi serta meningkatkan efisiensi dan ketahanan ekonomi serta meningkatkan daya saing produksi nasional, meliputi bidang :
1)      Bidang  impor mencakup
Antara lain adalah penyederhanaan tata niaga impor.
2)      Dibidang ekspor mencakup :
Antara lain penghapusan pemeriksaan barang ekspor oleh surveyor.
3)      Iklim Usaha

G). KRISIS MONETER BULAN JULI 1997 MENJADI KRISIS EKONOMI
Ø  Tidak mudah menentukan apa faktor-faktor utama penyebab krisis ekonoim di Indonesia, karena setiap gejolak ekonomi dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang langsung (drect factors) dan  faktor-faktor yang tidak langsung (indirect factors) yang mempengaruhinya. Sselain itu dapat pula dibedakan aadanya faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal, yang mempengaruhi terjadinya krisis ekonomis, baik yang bersifat ekonomi maupun yang bersifat noneknomis.
Ø  Selain faktor-faktor internal dan eksternal, ada tiga teori alternatif yang dapat juga dipakai sebagai basic framework untuk menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya krisis ekonomi di Asia (Tulus Tambunan, 1998).
a.       Faktor-faktor Internal
-          Fundamental ekonomi nasional yang merupakan penyebab krisis ekonomi di Indonesia adala fundamental makro misalnya : 1) pertumbuhan ekonomi, 2) pendapatan nasional, 3) tingkat inflasi, 4) jumlah uang beredar, 5) jumlah pengangguran, 6) jumlah investasi, 7) keseimbangan neraca pembayaran, 8) cadangan devisa dan 9) tingkat suku bunga.
-          Dilihaat dari fundamental ekonomi makro, bukan hanya sektor moneter tapi juga sektor riil mempunyai kontribusi yang besaar terhadap terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, karena dua alasan:
1)      Perkembangann sektor moneter sebenarnya sangat tergantung dari perkembangan sektor riil, karena uang (valas) sudah menjadi komoditas yang diperdagangkan seperti produk-produk dari sektor riil.
2)      Perubahan cadangan valas sangat sensitif  terhadap perubahan sektor riil (perdagangan luar negeri) dan salah satu penyebab depresiasi nilai tukar rupiah yang menciptakan krisis ekonomi di Indonesia adalah karena terbatasnya cadangan valas di Bank Indonesia.
b.      Faktor-faktor eksternal
-          Jepang dan Eropa Barat mengalami kelesuan pertumbuhan ekonomi sejak awal dekade 90-an dan tingkat suku bunga sangat rendah. Dana sangat melimpah sehingga sebagian besar arus modal swasta mengalir ke negara-negara Asia Tenggara dan Timur, yang akhirnya membuat krisis.
-          Daya saing Indonesia di Asia yang lemah, sedang nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terlalu kuat (overvalued). (Tulus Tambunan, 1998).

H). TERJADINYA KONTRAKSI EKONOMI SEJAK 1998
a.       Proses terjadinya kontraksi ekonomi
-          Penurunan nilai tukar ruiah yang tajam disertai dengan terputusnya akses ke sumer dana luar negeri menyebabkan turunnya produksi secara drastis dan berkurangnya kesempatan kerja.
-          Pada saat yang sama, kenaikan laju inflasi yang tinggi dan penurunan penghasilan masyarakat menyebabkan merosotnya daya beli sehingga kesejahteraan masyarakat menurun drastis dan kantong-kantong kemiskinan semakin meluas.
b.      Indikator kontraksi ekonomi
Indikator Makroekonomi Tahun 1998


Rincian
Triwulan I
Triwulan II
Triwulan III
Triwulan IV

Perubahan %

Produk domestik bruto riil
(Tahun dasar 1993)
-4,0
-12,3
-18,4
19,5
Pengeluaran konsumsi
2,4
4,8
-13,7
-9,5
Inflasi IHK
39,1
56,7
82,4
77
Suku bunga PUAB
51,8
64,6
66,2
33,4
Nilai tukar (Rp$)
14,900
10,700
8,025
8,685
-          Berbagai permasalahan nonekonomi muncul dalam waktu yang relatif bersamaan :
(1)   Kerusuhan sosial yang menyebabkan berbagai kerusakan di sektor produksi maupun distribusi
(2)   Jaringan distribusi yang tidak berfungsi sepenuhnya disertai panis buying.
(3)   Pergantian kepemimpinan nasional dan proses konsolidasi pemerintahan baru turut memperlambat pemulihan stabilitas ekonomi, sosial dan politik.
b.      Pada tahun 1998 PDB Riil menyusut 13,7% yang terutama disebabkan oleh kegiatan investasi dan konsumsi swastaa yang merosot tajam. Penurunan kegiatan investasi berkaitan dengan makin memburuknya ketidakseimbangan neraca dunia usaha, memburuknya kondisi perbankan, rendahnya kepercayaan investor dari sluar negeri.
H). Perekonomian Indonesia Tahun 2001 s/d 2008
                        Rancangan APBN tahun 2001 merupakan rencana pembangunan tahunan (Repeta) pertama dari pelaksanaan program pembangunan nasional (PROPENAS) sebagai penjabaran dari GBHN 1999-2001, disamping merupakan tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah an dsentralisasi fiskal. Beban RAPBN 2001 tersebut sangat berat, karena dituntut untuk dapat mendorong terciptanya stabilitas dalam perekonomian, memberikan stimulus terbatas bagi kegiatan ekonomi, juga harus mampu mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal. Sementara itu, hampir seluruh pendapatan negara dan hibah (sekitar 99 persen) akan terserap untuk pengeluaran yang bersifat wajib dan tidak terelakan (non-discretionary expenditures) yaitu untuk belanja pegawai pusat (15,18 persen), bunga utang (29,08 persen), subsidi (20,49 persen), dan dana perimbangan (31,02 persen). Sebagai akibat, kapasitas dan ruang gerak kebijakan fiskal untuk mengakomodasikan berbagai program percepatan pemulihan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi sangat terbatas.
                        Sebagaimana digariskan dalam GBHN 1999-2001, upaya mendesak yang harus dilakukan dalam mempercepat pemulihan ekonomi, mengatasi kemiskinan serta pengangguran yang semakin meningkat selama krisis adalah mempertahankan stabilitas ekonomi, membenahi dunia perbankan dan dunia usaha, serta meningkatkan realokasi sumber daya pembangunan. Kontibusi kebijakan fiskal dalam mendorong percepatan pemulihan ekonomi yang dijabarkan dalam RAPBN 2001 pada intinya diarahkan pada upaya untuk
Ø  mendorong terciptanya stabilitas ekonomi makro dan merangsang minat investasi dalam dan luar negeri melalui formulasi APBN yang dilakukan secara hati-hati, disiplin, dan serealistis mungkin, dan
Ø  memberdayakan masyarakat dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar melalui realokasi sumber daya pembangunan yang lebih diprioritaskan pada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di pedesaan, memacu pengembangan usaha skala mikro, kecil, menengah dan koperasi, serta meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani dan nelayan.
                        Dari sisi pendapatan negara, rasio perpajakan terhadap PDB cenderung meningkat dari sebesar 13,0 persen dalam tahun 2002 menjadi 13,5 persen dalam tahun 2003, dan diperkirakan menjadi sebesar 14,0 persen dalam APBN-P tahun 2004. Sementara itu rasio pajak non migas juga cenderung meningkat. Hal ini dilakukan terutama melalui langkah-langkah ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Dari sisi belanja negara, rasio belanja negara terhadap PDB relatif stabil sejalan dengan langkah-langkah efisiensi dan efektivitas anggaran negara. Dalam tahun 2002 sampai dengan tahun 2004, rasio belanja negara terhadap PDB masing-masing mencapai sebesar 20 persen, 21,1 persen, dan 21,6 persen. Dengan langkah-langkah peningkatan kapasitas pendapatan negara dan pengendalian belanja negara, secara bertahap defisit anggaran dapat diturunkan dalam beberapa tahun terakhir. Defisit anggaran dalam tahun 2002 dapat ditekan menjadi 1,5 persen terhadap PDB. Meskipun defisit tersebut mengalami peningkatan dalam tahun 2003 menjadi sebesar 2,0 persen terhadap PDB, namun dalam tahun 2004, defisit anggaran negara diperkirakan dapat ditekan kembali menjadi sekitar 1,3 persen terhadap PDB. Relatif tingginya defisit dalam tahun 2003 disebabkan oleh kebutuhan stimulasi fiskal yang antara lain untuk mengantisipasi dampak negatif pemboman di Bali pada akhir tahun 2002.
                        Kebijakan fiskal dalam tahun 2004 telah memberikan harapan kepada pasar bahwa ketahanan fiskal pemerintah dapat terjaga. Realisasi defisit dalam APBN-P 2004 mencapai sebesar 1,3 persen terhadap PDB, lebih rendah dari realisasi defisit APBN tahun 2003 yang mencapai 2,0 persen terhadap PDB. Lebih dari itu, kelancaran proses divestasi pada beberapa BUMN menunjukkan bahwa kebijakan pembiayaan APBN yang diambil Pemerintah telah sesuai dengan arah yang telah digariskan dalam tahun 2004. Hal tersebut didukung pula dengan kelancaran sisa penjualan aset-aset BPPN yang melebihi target dan kesuksesan penerbitan obligasi luar negeri pemerintah. Kesemuanya itu pada gilirannya meningkatkan kepercayaan pasar, memberikan hasil yang positif, dan mengurangi hambatan-hambatan dalam pencapaian sasaran-sasaran APBN 2004.
                        APBN tahun 2005 merupakan APBN pertama yang disusun berdasarkan mekanisme pembahasan dan format baru sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Karena itu, penyusunan APBN 2005 dilakukan dengan berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Kerangka Ekonomi Makro, dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal tahun 2005 sebagaimana telah dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam Pembicaraan Pendahuluan RAPBN 2005. Sebagai APBN transisi, APBN 2005 disusun sedemikian rupa, sehingga mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan untuk menjamin terjaganya konsistensi arah dan kesinambungan proses konsolidasi fiskal, dengan menyediakan ruang gerak yang cukup bagi inisiatif baru oleh Pemerintah dan DPR hasil Pemilu 2004, di wilayah-wilayah kebijakan yang strategis, seperti kebijakan belanja gaji bagi PNS/TNI/Polri dan pensiunan, belanja subsidi BBM dan non-BBM, penetapan prioritas alokasi anggaran, serta alternatif dan komposisi sumber-sumber pembiayaan defisit.
                        Dengan kerangka kebijakan demikian, tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan kebijakan fiskal pada APBN 2005 masih cukup berat dan semakin kompleks. Tantangan pokoknya tidak hanya terfokus pada upaya mengendalikan defisit anggaran semata, melainkan bergeser kepada masalah pemenuhan kebutuhan pembiayaan dibanding dengan sumber-sumber pembiayaan anggaran yang terbatas (financing gap). Hal ini disebabkan terutama oleh membengkaknya beban kewajiban pembayaran pokok utang, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri dalam jumlah yang sangat besar. Kewajiban tersebut harus dipenuhi seluruhnya dan secara tepat waktu, oleh karena sebagai konsekuensi dari diakhirinya program kerjasama dengan IMF, sejak tahun 2004 Pemerintah tidak lagi dapat memanfaatkan fasilitas penjadwalan ulang (rescheduling) utang luar negeri melalui forum Paris Club (PC).
                        Kondisi tersebut mengisyaratkan perlunya strategi kebijakan fiskal tahun 2005 tetap dijaga agar konsisten dalam mendorong upaya peningkatan penerimaan negara, mengendalikan dan mengefisienkan belanja negara, serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan anggaran. Strategi ini memerlukan langkah-langkah pembaharuan (reformasi) yang berkelanjutan pada berbagai jenis instrumen fiskal, yang meliputi (i) bidang perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), (ii) penganggaran belanja negara, (iii) pengelolaan utang dan optimalisasi pembiayaan anggaran, serta (iv) penataan kelembagaan keuangan negara.
Pada tahun 2006, perekonomian Indonesia telah menghadapi tantangan yang sangat berat. Tantangan tersebut timbul sebagai dampak kenaikan harga BBM di dalam negeri pada bulan Oktober 2005. Dalam upaya pemerintah untuk menjaga sustainabilitas APBN, pengurangan subsidi BBM dan pemanfaatan penerimaan minyak bumi untuk pengeluaran yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat melalui pembangunan infrastruktur yang penting merupakan kebijakan yang perlu ditempuh. Kondisi perekonomian pada semester I 2006 ditandai dengan penurunan tingkat konsumsi masyarakat yang diikuti dengan penurunan tingkat produksi dan rendahnya investasi. Selain itu, laju inflasi dan tingkat bunga juga meningkat dengan tajam hingga kurang kondusif bagi dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Pelemahan ekonomi pada semester I 2006 yang memang telah diperkirakan, mulai dapat teratasi pada semester II 2006. Kecepatan pemulihan ekonomi untuk kembali tumbuh lebih tinggi merupakan hasil dari berbagai upaya pemerintah dalam bentuk ekspansi fiskal untuk melindungi daya beli masyarakat miskin (seperti pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Operasi Sekolah (BOS), pengobatan gratis bagi keluarga miskin) dan juga koordinasi kebijakan makro yang baik dari pemerintah dan Bank Indonesia (BI) secara bertahap telah mengembalikan stabilitas ekonomi.
Memasuki semester II 2006, kondisi perekonomian menunjukkan pembalikan dengan arah yang positif. Hingga akhir tahun 2006, indikator-indikator makro ekonomi menunjukkan bahwa ekonomi tumbuh sebesar 5,48%; tingkat inflasi mencapai 6,6% (y-o-y); BI rate mencapai 9,75%; nilai tukar rupiah sekitar Rp9.167/US$; dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menembus level 1.800. Perkembangan positif tersebut terus berlanjut hingga kuartal I 2007. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal I 2007 diproyeksikan mencapai kisaran antara 5,7% s.d. 5,9% (y-o-y). Laju pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari laju pertumbuhan PDB di kuartal yang sama tahun 2006 (4.98%). Peningkatan laju pertumbuhan ekonomi tersebut dapat diindikasikan melalui perbaikan kinerja konsumsi masyarakat dan pemerintah, investasi, serta ekspor barang dan jasa. Perbaikan indikator ekonomi makro pada kuartal I tahun 2007 selain memberikan sinyal positif atas upaya pencapaian sasaran pertumbuhan 2007 sebesar 6,3%, juga menjadi modal untuk menentukan sasaran pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi pada tahun 2008.
Pada prinsipnya, pelaksanaan kebijakan fiskal pada tahun 2008 diarahkan untuk memberikan dukungan dan panduan bagi arah perekonomian dalam rangka pencapaian misi-misi pembangunan yang termuat dalam RPJM yaitu: mewujudkan Indonesia yang aman dan damai, mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis, dan mewujudkan Indonesia yang sejahtera. Sementara prioritas kegiatan pembangunan tahun 2008 dirumuskan dalam penetapan tema pembangunan yaitu: percepatan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran.


I). Perekonomian Indonesia Tahun 2009 s/d 2011
Alokasi belanja negara dalam RAPBN 2009 sebesar Rp1.122 triliun dengan komposisi belanja departemen (31%), subsidi (21%), bunga utang (10%), dan dana daerah (28%). Dengan demikian, lebih dari 70% alokasi RAPBN 2009 dipergunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemerintah pusat mengendalikan Rp818 triliun dan lebih dari Rp312 triliun lewat dapartemen. Pencairan anggaran yang selama ini menjadi masalah, dari waktu ke waktu telah menunjukkan perbaikan. Program revitalisasi pertanian selama tiga tahun terakhir ini berhasil mendorong swasembada pangan. Pada saat dunia mengalami tekanan harga pangan yang tinggi, dan munculnya kecenderungan proteksionisme global dalam bentuk larangan ekspor komoditas pangan, kita mampu mengamankan ketahanan pangan. Jaringan transportasi dan telekomunikasi dari Sabang sampai Merauke, dari Sangihe Talaud sampai Pulau Rote, penyelesaian jalur dan jaringan telekomunikasi (Palapa Ring) di wilayah Indonesia Timur, misalnya, merupakan salah satu perekat utama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jaringan ini juga menjadi tulang punggung distribusi, baik barang dan penumpang maupun jasa, serta penting dalam peningkatan produksi. Untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, pemerintah menempuh beberapa jalur utama. Pada 2009, belanja infrastruktur ditingkatkan, sehingga memungkinkan penyelesaian beberapa proyek besar di antaranya Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu), Bandara Kuala Namu di Sumatra Utara, dan Bandara Hasanuddin di Sulawesi Selatan. Juga beberapa jalan arteri dan jalan akses, seperti lintas pantai selatan Jawa dan pulau-pulau terpencil serta terluar. Pembangunan rail link kereta api Manggarai-Bandara Cengkareng, jalur KA ganda Kroya-Kutoarjo, Cirebon Kroya, dan Tegal-Pekalongan. Pengembangan pelabuhan strategis di Belawan, Manokwari, Bitung, Bojonegara, dan Manado juga dilakukan penyelesaiannya pada 2009.
 Di sektor kelistrikan program 10.000 MW diharapkan secara bertahap akan menghilangkan krisis pasok listrik di semua belahan Nusantara. Mulai pertengahan 2009, krisis listrik di Jawa-Bali diharapkan teratasi. Program ini juga diharapkan mengurangi ketergantungan PLN terhadap bahan bakar minyak (BBM). Pemerintah juga membuka kesempatan seluas-luasnya bagi perusahaan swasta untuk ikut membangun dan mengusahakan kegiatan infrastruktur secara adil, kompetitif, dan transparan. Untuk pembangunan jalan tol trans-java dan JORR di wilayah Jabodetabek, telah disediakan dana pembelian tanah dan risiko biaya pengadaan tanah untuk 28 ruas jalan kepada kontraktor swasta pemenang tender.
Sedangkan pada tahun 2010 pokok-pokok kebijakan fiskal yang dijalankan adalah:
Ø  Meneruskan/meningkatkan seluruh program kesejahteraan rakyat (PNPM, BOS, Jamkesmas, Raskin, PKH dan berbagai subsidi lainnya)
Ø  Melanjutkan stimulus fiskal melalui pembangunan infrastruktur, pertanian dan energi, serta proyek padat karya
Ø  Mendorong pemulihan dunia usaha termasuk melalui pemberian insentif perpajakan dan bea masuk
Ø  Meneruskan reformasi birokrasi
Ø  Menjaga anggaran pendidikan 20%.
Sejalan dengan perkembangan positif ekonomi global, kinerja perekonomian domestik di sepanjang 2010 juga menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan. Dari sisi ekonomi makro, stabilitas berbagai indikator ekonomi relatif terjaga dengan kecenderungan semakin menguat. Sedangkan dari sisi sektor riil, kinerja berbagai indikator sektor riil seperti konsumsi, investasi, maupun ekspor dan impor juga terus menunjukkan perbaikan dan penguatan yang cukup signifikan. Dengan memperhatikan berbagai perkembangan ekonomi dan keuangan terkini baik secara global maupun domestik, kinerja ekonomi Indonesia di tahun 2011 akan semakin baik dan diperkirakan mampu tumbuh 6,3 persen. Perkiraan ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi negara ASEAN-5 yang sebesar 5,5 persen.
Sasaran kebijakan ekonomi makro dalam tahun 2011 meliputi: (1) meningkatnya pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, dan (2) terjaganya stabilitas ekonomi yang kokoh. Dalam tahun 2011, pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai sebesar 6,3 persen, yang didukung oleh meningkatnya investasi dan ekspor nonmigas, dan pulihnya sektor produksi terutama sektor industri dan pertanian. Selain itu, Pemerintah terus berusaha menjaga tingkat konsumsi masyarakat, antara lain melalui terkendalinya laju inflasi dan pemberian subsidi energi (listrik dan BBM). Stabilitas ekonomi diupayakan melalui pengendalian laju inflasi dan volatilitas nilai tukar rupiah. Melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabilitas ekonomi yang terjaga, tingkat pengangguran dan kemiskinan diharapkan akan menurun.









DAFTAR PUSTAKA

Ø  http://www.fiskal.depkeu.go.id, diakses 17 maret 2012.
Ø         http://www.setneg.go.id/,diakses 17 maret 2012
Ø  http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/, diakses 17 maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar