BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada era pembangunan saat ini dunia bisnis Indonesia mendapat
tempat dan peluang yang cukup penting bagi perkembangan ekonomi, peningkatan
bisnis di bidang properti, perumahan, transportasi, komunikasi, dan lain-lain
serta kehadiran berbagai investor bisnis asing akan memberikan dampak positif
dalam proses mempercepat tinggal landas.
Masuknya perusahaan
asing dalam kegiatan investasi di Indonesia dimaksudkan sebagai pelengkap untuk
mengisi sektor-sektor usaha dan industri yang belum dapat dilaksanakan
sepenuhnya oleh pemerintah. Modal asing juga diharapkan secara langsung maupun
tidak langsung dapat lebih merangsang dan menggairahkan iklim atau kehidupan
dunia usaha, serta dapat dimanfaatkan sebagai upaya menembus jaringan pemasaran
internasional melalui jaringan yang mereka miliki. Selanjutnya modal asing
diharapkan secara langsung dapat mempercepat proses pembangunan ekonomi
Indonesia terutama Jawa Timur.
Dalam rangka menarik investasi dari luar
maupun dalam negeri serta memberikan kepastian hukum dalam berinvestasi di
Indonesia, Pemerintah Indonesia telah menetapkan serangkaian peraturan baru
dibidang penanaman modal yang akan memudahkan para investor untuk berinvestasi
di Indonesia. Kemudahan tersebut tercermin antara lain dalam penerapan
mekanisme pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) dan penyederhanaan prosedur
perijinan investasi. Selain itu, Pemerintah saat ini juga tengah menggodok
perubahan Daftar Negatif Investasi di Indonesia yang diharapkan dapat segera
ditetapkan dalam waktu dekat. Arah baru regulasi di bidang penanaman modal ini
diharapkan mampu meningkatkan daya saing jawa timur ditengah persaingan global
sehingga mampu membawa jawa timur menjadi negara tujuan investasi terdepan
(Badan Koordinasi Penanaman Modal RI,2009).
Kepastian hukum itu sendiri masih terkait
dengan regulasi pemerintah tentang Kebijakan otonomi daerah yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004
pada dasarnya merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa mereka sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Melalui
pendekatan otonomi, penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pembangunan di
daerah akan berjalan secara lebih efektif dan efisien karena kedekatan antara
lembaga pemerintahan (eksekutif daerah) dengan masyarakat, sehingga kegiatan
pembangunan di daerah sudah di desain berdasarkan kebutuhan yang bersumber dari
aspirasi masyarakat setempat. Kebijakan desentralisasi fiskal atau pajak sebagai
tindak lanjut dari kebijakan otonomi memberikan kewenangan pada pusat dan
daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan yang berasal dari daerah
sendiri.
Sehingga dengan kebijakan otonomi daerah maka yang diharapka peranan
investasi swasta bagi pembangunan baik regional maupun nasional dapat
menjadikan kegiatan ekonomi yang sangat penting terhadap terciptanya kesempatan
kerja serta pendapatan masyarakat yang pada gilirannya dapat meningkatkan laju
pertumbuhan ekonomi. Kegiatan ekonomi dalam hal ini penanaman modal sangat
multisektoral dan tidak mengenal batas-batas wilayah baik propinsi maupun
kabupaten/kota, oleh karena itu dalam penanganannya diperlukan kebijakan yang
memiliki otoritas yang lebih tinggi yang dapat mempertaruhkan berbagai
kepentingan wilayah maupun kepentingan sektoral.
Penanaman Modal Asing terkait dengan kebijakan terbaru di
bidang penanaman modal di Indonesia yang diantaranya bersumber dari :
1. Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
2. Peraturan Presiden Nomor
77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang
Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007.
3. Peraturan Presiden Nomor
27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.
Sehubungan
dengan sumber dana dalam negeri yang terbatas dan dengan diupayakan
terealisasinya kebijakan yang ada, maka PMA (Penanaman Modal Asing) memegang
peranan relatif penting yang tidak hanya berperan sebagai sumber dana tetapi
juga sebagai wahana alih teknologi. Bersamaan dengan alih teknologi tersebut
akan tercipta kesejahteraan yang merata. Oleh karena itu pemerintah jawa timur
harus segera menciptakan iklim usaha yang menarik para pemilik dana untuk menanamkan
modalnya maka perlu didorong dengan pengembangan iklim investasi yang baik,
prosedur yang sederhana, pelayanan yang lancar, sarana dan prasarana ekonomi
yang menunjang serta peraturan yang konsisten sehingga memberi jaminan
kepastian berusaha dan keamanan investasi. Berdasarkan uraian tersebut diatas
maka penulis memandang perlu untuk mengkaji lebih dalam mengenai “Implementasi Kebijakan Perijinan Penanaman
Modal Asing Dalam Perspektif Otonomi Daerah di Jawa Timur”
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana implementasi
kebijakan perizinan penanaman modal asing di Jawa Timur sebagai upaya
peningkatan pembangunan ekonomi masyarakat di era Otonomi Daerah ?
1.2.2
Apa saja peluang dan
tantangan dari implementasi kebijakan perizinan penanaman modal asing di Jawa
Timur sebagai upaya peningkatan pembangunan ekonomi masyarakat di era otonomi
daerah ?
1.3 Metode Penulisan
Dari banyak metode yang
penulis ketahui, penulis menggunakan metode kepustakaan. Pengumpulan data baik
dari buku-buku formal maupan informal, bahkan beberapa surat kabar yang sangat
berperan penting dalam penulisan ini. Ruang lingkup mengingat keterbatasan
waktu dan kemampuan yang penulis miliki maka ruang lingkup karya tulis ini
terbatas pada pembahasan mengenai Implementasi
Kebijakan Perijinan Penanaman Modal Asing Dalam Prespektif Otonomi Daerah di
Jawa Timur
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Konsep
Implementasi Kebijakan
2.2.1
Pengertian Implementasi
Secara etimologis pengertian implementasi menurut kamus Webster
yang dikutip oleh solichin abdul wahab adalah :
“Konsep
implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement. Dalam kamus
besar Webster, to implement
(mengimplentasikan) berarti to
provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan
sesuatu); dan to give practical effect to
(untuk menimbulkan dampak/ akibat dari sesuatu)”
(http://elib.unikom.ac.id//disk1/454/.babii.pdf,
diakses 10 maret 2012)
Dalam studi kebijakan publik, dikatakan bahwa implementasi
bukanlah sekedar bersangkut-paut dengan mekanisme penjabaran
keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin melalui
saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu implementasi menyangkut
masalah konflik, keputusan, dan siapa dan apa yang didapat dari suatu
kebijakan. Oleh karena itu tidaklah terlalu salah jika dikatakan bahwa
implementasi kebijakan merupakan aspek yang sangat penting dalam keseluruhan
proses kebijakan. Hal yang sama disampaikan oleh Udoji dalam Agustino
(2008:140) bahwa Implementasi Kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan
mungkin lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Kebijakan hanya akan
berisi impian dan rencana ideal yang tersimpan rapi dalam arsip jika tidak
diimplementasikan.
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa implementasi kebijakan adalah proses pencapaian tujuan yang
telah ditetapkan yang dilakukan oleh pemerintah ataupun swasta sehingga
memiliki hasil yang dicapai dan perlu dipahami bahwa dalam proses implementasi
kebijakan dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kekuatan politik,
ketaatan kelompok sasaran, kondisi ekonomi dan sosial.
Beberapa faktor yang menentukan keberhasilan
implementasi kebijakan publik menurut Soenarko (2005:187) ditentukan oleh 3
kegiatan pokok yaitu:
a. Interpretation
Interpretation dalam implementasi kebijakan adalah berusaha
untuk mengerti apa yang dimaksudkan oleh pembuat kebijakan dan mengetahui betul
apa dan bagaimana tujuan akhir (goal)
itu harus diwujudkan.
b.
Organization
Organization disini dimaksudkan sebagai pembentukan badan-badan atau
unit-unit beserta metode-metode yang diperlukan untuk menyelenggarakan
rangkaian kegiatan guna mencapai tujuan yang tekandung dalam kebijakan.
c.
Application
Application langkah yang terakhir adalah penerapan segala kebijakan
dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan untuk terealisasinya tujuan kebijakan.
Utnuk mencapai keberhasila kegiatan tersebut diperlukan perhatian terhadap
kondisi dan situasi kehidupan masyarakat yang dikenai kebijakan pada waktunya,
sehingga dapat terjadi modifikasi atau perubahan dari bentuk-bentuk kebijakan
yang telah ditetapkan sebelumnya menurut prediksi waktu.
2.2.2
Model Implementasi Kebijakan
Pada
prinsipnya terdapat dua pemilahan jenis teknik atau model implementasi
kebijakan. Pemilahan pertama adalah implemenasi kebijakan yang berpola dari
atas ke bawah (top-down) dan
kebalikannya adalah dari bawah ke atas (bottom-up)
dan pemilahan implementasi yang berpola paksa (command-and-control) dan mekanisme pasar (economic incentive). Model-model implementasi kebijakan yang
dikemukakan beberapa tokoh oleh Nugroho (2006:126) dipetakan sebagai berikut :
Keterangan :
MH : Model Donald Ban Meter dan
Carl Van Horn
HG : Model W. Hoogwod dan Lewis
A. Gun
MS : Model Daniel Mazmanian dan
Paul A. Sabatier
GR : Model Merilee S. Grindle
RE : Model Richard Elmore dkk.
Dari pemetaan model-model implementasi kebijakan di atas,
maka dapat diberi penjelasan seperlunya tiap-tiap model satu demi satu. Model
pertama adalah model Metter and Horn yang dalam pemetaan di atas diberi
label “MH” yang terletak di kuadran “puncak ke bawah” dan lebih berada
dimekanisme paksa dari pada di mekanisme pasar. Model ini mengandaikan bahwa
implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik,
implementor, dan kinerja kebijakan publik. Ada beberapa variabel yang
mempengaruhi kebijakan publik yakni komunikasi antar organisasi dan pengukuhan
aktivitas, karakteristik organisasi komunikasi antar organisasi, kondisi sosial
ekonomi, dan politik, sumber daya dan sikap pelaksana.
Model ketiga adalah model dari Brian W. Hoogwood dan Lewis
A.Gun (1978) yang di dalam pemetaan diberi label “MS” yang terletak di kuadran
“puncak ke bawah” dan berada di “mekanisme paksa” dan pada mekanisme
pasar”. Menurut kedua pakar pencetus model ini untuk melakukan implementasi
diperlukan beberapa syarat: syarat pertama berkenaan dengan jaminan
bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga/badan pelaksana tidak akan
menimbulkan masalah yang besar. Syarat yang kedua adalah apakah untuk
melaksanakannya tersedia sumberdaya yang memadai, termasuk sumber daya waktu, syarat
yang ketiga apakah perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada
baik dalam konteks sumber daya atau sumber –aktor. Syarat yang keempat
adalah apakah kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan kausal
yang andal. Syarat yang kelima adalah seberapa banyak hubungan
kausalitas yang terjadi. Syarat yang keenam adalah apakah
hubungan saling ketergantungan kecil. Syarat yang ketujuh adalah
pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. Syarat kedelapan
adalah bahwa tugas-tugas telah rinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar.
Model implementasi kebijakan menurut Mazmanian &
Sabatier, ini dikenal pula sebagai model kerangka analisis implementasi yang di
dalam pemetaan di atas diberi label “MS” yang terletak di kuadran “puncak ke
bawah dan lebih berada di “mekanisme paksa” dari pada di “mekanisme
pasar”. Jika diperhatikan model MS ini mengklasifikasi implementasi kebijakan
kedalam tiga variabel yakni pertama, variabel independen, yaitu mudah
tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan
teknis pelaksanaan, keragaman prilaku kelompok sasaran, sifat populasi dan
derajat perubahan perilaku yang diharapkan; kedua variabel intervening
yakni daya dukung peraturan berupa kejelasan atau konsistensi tujuan atau
sasaran, teori kausal yang memadai, sumber keuangan yang mencukupi , ketiga
variabel dependen berupa variabel non peraturan, berupa kondisi sosio-ekonomi,
dan teknologi
Model yang keempat adalah model Merilee S.Grindle (1980),
yang pada pemetaan di atas yang di dalam pemetaan diberi laber “GR” yang
terletak di kuadran “puncak ke bawah” dan lebih berada di “mekanisme paksa dan
pada mekanisme pasar. Model ini ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks
implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan,
maka implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilan ditentukan oleh derajat.
Model kelima adalah model yang disusun oleh Richard Elmore
(1979), Michael Lipsky (1971) dan Benny Hjern & David O’Porter (1981) yang
pada pemetaan di atas diberi label “RE dkk” yang terletak di kuadran “bawah ke
atas”,dan lebih berada di “mekanisme pasar”. Model ini dimulai dari
mengidentifikasi jaringan aktor yang terlibat di dalam proses pelayanan dan
menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak yang
mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan kepada jenis kebijakan publik
yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya
atau masih melibatkan pejabat pemerintah, namun hanya di tataran bawah. Oleh
karena itu kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan harapan, keinginan publik
yang menjadi target atau kliennya dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah
yang menjadi pelaksannya. Kebijakan model ini biasanya diprakarsai oleh
masyarakat, baik secara langsung ataupun melalui lembaga-lembaga swadaya
masyarakat (nirlaba).
2.3 Konsep Otonomi Daerah
Otonomi daerah
dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan
daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan
terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan yang di maksud Otonomi Daerah adalah wewenang
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada Negara
kesatuan maupun pada Negara federasi. Di Negara kesatuan otonomi daerah lebih
terbatas dari pada di Negara yang berbentuk federasi. Kewenangan mengantar dan
mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan meliputi segenap kewenangan
pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat
seperti :
2.3.1
Hubungan luar negeri
2.3.2
Pengadilan
2.3.3
Moneter dan keuangan
2.3.4
Pertahanan dan
keamanan
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan
hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan
dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan
bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali
sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
2.4 Konsep Kebijakan Publik
Istilah kebijakan atau sebagian orang
mengistilahkan kebijaksanaan seringkali disamakan pengertiannya dengan istilah policy. Hal tersebut barangkali
dikarenakan sampai saat ini belum diketahui terjemahan yang tepat istilah policy ke dalam Bahasa Indonesia, dan
Kebijakan Publik (Public Policy)
adalah istilah yang paling umum digunakan di kalangan akademisi maupun
politisi. Kebijakan publik menurut Dye dalam Agustino (2008 : 7) bahwa "Public policy is whatever government chose to do or not. to do" (apapun yang dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan
Dari beberapa pandangan tentang kebijakan publik tersebut dan
berdasar pada paham bahwa kebijakan adalah adalah serangkaian tindakan yang
ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan, maka Islamy
(2004:20) menguraikan beberapa elemen penting dalam kebijakan publik, yaitu :
2.4.1
Kebijakan publik itu dalam bentuk perdananya berupa penetapan
tindakan-tindakan pemerintah.
2.4.2
Kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan
dalam bentuk yang nyata.
2.4.3
Kebijakan publik, baik untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan
sesuatu itu mempunyai dan dilandasi maksud dan tujuan tertentu.
2.4.4
Kebijakan publik itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan
seluruh anggota masyarakat.
2.5 Konsep Investasi
Perdagangan bebas merupakan
salah satu dampak dari adanya globalisasi. Tarik-menarik antara kekuatan yang
mendorong terjadinya multilateralisme di satu sisi dan regionalisme di sisi
yang lain merupakan sebuah karakteristik dari globalisasi yang tidak
terelakkan. Negara berusaha mendapatkan keuntungan dari kedua tarikan tersebut,
demikian halnya dengan perdagangan bebas yang diharapkan menghasilkan
keuntungan yang bersifat dinamik maupun statik. Terkait dengan paradigma
regionalisme, penelitian ini akan menitikberatkan pada analisis di tingkat
daerah yang dibagi dalam tiga kajian yaitu perizinan, iklim investasi, dan
pengembangan industri lokal.
2.6 Konsep Multiplier Effect
Konsep multiplier effect sangat
erat kaitannya dengan perkembangan suatu wilayah. Banyaknya aktivitas yang
ditimbulkan secara langsung juga akan memengaruhi kemajuan daerah itu sendiri.
Meningkatnya dinamika kegiatan ekonomi pada akhirnya akan meningkatkan
pengembangan wilayah. Perspektif mengenai konsep multiplier effect antara
lain dikemukakan oleh Keynes melalui model yang diberi nama Incremental
Capital Output Ration (ICOR). Teori hubungan kelipatan pertama kali
diperkenalkan oleh Keynes dalam The General Theory of Employment,Interest
and Money yang mengadopsi konsep dari R.F. Kahn. Dalam bukunya, Keynes
menjabarkan konsep multiplier pertama kali diperkenalkan oleh R.F. Kahn
melalui tulisannya“The Relation of Home Investment to Undemployment” (Economic
Journal, Juni 1931). (www.bappenas.go.id, Rekonsuliasi perencanaan pembangunan, , diakses 10 maret 2012
Konsep multiplier pada
prinsipnya menjelaskan bahwa ada hubungan antara tingkat investasi (I) dan
permintaan pendapatan (Y). Atau, dengan bahasa sederhananya, bila terdapat
tambahan investasi, maka akan bertambah pula tingkat permintaan pendapatan
dengan kelipatan sebesar kebalikan dari marginal propensity to save (mps),
atau angka koefisien yang menunjukkan berapa kenaikan tingkat tabungan jika
permintaan pendapatan meningkat dengan jumlah tertentu, dengan nilai angka
pecahan kurang dari 1. Model ini diperkaya dengan model Incremental Capital
Output Ration (ICOR) dari Sir Harrod yang menyebutkan bahwa investasi harus
diartikan sebagai pertambahan kapasitas produksi (Kunarjo: 2000).
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1
Implementasi kebijakan Perizinan Penanaman Modal Asing di Jawa
Timur
Kebijakan otonomi daerah
yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 pada dasarnya merupakan kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa mereka sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Melalui pendekatan otonomi, penyelenggaraan
kegiatan pemerintahan dan pembangunan di daerah akan berjalan secara lebih
efektif dan efisien karena kedekatan antara lembaga pemerintahan (eksekutif
daerah) dengan masyarakat, sehingga kegiatan pembangunan di daerah sudah di
desain berdasarkan kebutuhan yang bersumber dari aspirasi masyarakat setempat.
Kebijakan desentralisasi fiskal atau pajak sebagai tindak lanjut dari kebijakan
otonomi memberikan kewenangan pada daerah untuk menggali sumber-sumber
pendapatan yang berasal dari daerah sendiri di samping transfer dana pusat
dalam membiayai urusan pemerintahan dan pembangunan yang sudah menjadi
kewenangan daerah.
Sebenarnya implementasi dari kebijakan perizinan penanaman modal asing di
Jawa Timur dapat dikatakan sedang menghadapi permasalahan yang dihadapi
oleh investor asing terkait dengan pengaturan kewenangan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah di bidang penanaman modal asing menurut Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 antara lain:
1.
Belum jelasnya pembagian
kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Kewenangan daerah masih banyak yang belum
didesentralisasikan karena peraturan dan perundangan sektoral yang masih belum
disesuaikan dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini
menyebabkan banyak daerah kabupaten atau kota yang menerbitkan peraturan daerah
untuk mengatur investasi, sehingga terjadi tumpang tindih regulasi antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta antara pemerintah daerah yang
satu dengan pemerintah daerah lainnya. Pada gilirannya, keadaan tersebut justru
membingungkan investor asing karena tidak ada kepastian hukum. Dalam praktik
investasi pasca-otonomi daerah, banyak terjadi konflik kewenangan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah kabupaten atau kota serta konflik
kewenangan antar pemerintah daerah yang merugikan investor
asing.
Investor juga mengeluhkan banyaknya pungutan
pajak yang harus dibayar dan tumpang tindihnya regulasi pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah. Bahkan sejumlah investor menilai, pemerintah daerah
bertindak sewenang-wenang hanya karena merasa lebih berhak menentukan siapa
yang boleh mendapat izin lokasi Selain menyebabkan tidak jelasnya penanganan
kegiatan investasi asing, otonomi daerah juga telah menimbulkan ketidakpastian
hukum dalam hal pungutan pajak dan sejenisnya terhadap investor asing. Di satu
pihak, investor asing harus membayar pajak kepada pemerintah pusat, dan di lain
pihak harus membayar beberapa jenis pungutan baru kepada pemerintah daerah
berdasarkan peraturan daerah yang pada dasarnya bertentangan dengan
undang-undang mengenai perpajakan.
Perpajakan yang baik akan menghasilkan
penerimaan guna mendanai penyelenggaraan jasa pelayanan publik yang akan
memperbaiki iklim investasi dan memenuhi tujuan-tujuan sosial lainnya.
Kepada perusahaan-perusahaan modal asing yang bergerak di berbagai bidang usaha
yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, diberikan kelonggaran-kelonggaran
perpajakan.
Penerimaan pajak dari investor asing tentu menjadi pendapatan daerah yang cukup
besar namun dengan adanya pemungutan pajak yang memberatkan investor asing
dapat menyebabkan turunnya minta investor asing untuk berinvestasi di
Indonesia. Hal ini dikeluhkan investor asing karena akan mengurangi keuntungan
yang telah diprediksikan sebelumnya. Lebih dari itu, pungutan-pungutan baru
yang dilakukan pemerintah daerah, tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Munculnya kebijakan-kebijakan yang sangat
bertentangan semacam itu tentu tidak menguntungkan. Bahkan dapat pula
menimbulkan citra yang miring pada pemerintah akibat adanya kebijakan yang
berdampak distorsi. Yang pasti, dengan adanya pertentangan kebijakan itu,
Indonesia dapat dianggap terlalu riskan bagi penanaman modal, akibat tidak
adanya kepastian dan keteraturan kebijakan. Padahal investor manapun menuntut
adanya kepastian dan stabilitas demi keamanan dananya yang ditanamkan.
2.
Pemerintah pusat belum
menerbitkan peraturan yang jelas dan komprehensif mengenai kewenangan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal penanganan investasi asing.
Belum adanya pengaturan yang jelas dan
komprehensif dalam hal penanganan investasi asing, menyebabkan investor asing
bingung, karena tidak adanya kepastian hukum sebagai akibat terjadinya konflik
kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, serta konflik
kewenangan antar-pemerintah daerah dalam penanganan investasi asing.
3.
Masih rendahnya kerjasama
antar pemerintah daerah.
Pemerintah mengharapkan
antar pemerintah daerah menjalin kerjasama dengan memperhatikan perkembangan
ekonomi nasional maupun ekonomi daerah sehingga dapat diusahakan pembangunan
yang merata di seluruh wilayah Jawa Timur. Namun pada umumnya, antar pemerintah daerah
yang satu dengan pemerintah daerah yang lain masih mengedepankan egonya. Antar
pemerintah daerah enggan menjalin kerjasama bahkan menunjukkan persaingan antar
pemerintah daerah. Dalam bidang investasi, antar pemerintah daerah justru
saling berlomba untuk meraih pendapatan asing daerah tertinggi. Hal ini dapat
menimbulkan persaingan tidak sehat antar pemerintah daerah, padahal akan lebih
baik jika antar pemerintah daerah saking.
4.
Belum terbentuknya
kelembagaan pemerintah daerah yang efektif dan efisien.
Struktur organisasi pemerintah daerah umumnya
masih besar dan saling tumpang tindih. Selain itu prasarana dan sarana
pemerintahan masih minim dan pelaksanaan standar pelayanan minimum belum
mantap. Juga dalam hubungan kerja antar lembaga, termasuk antara pemerintah
daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, masyarakat, dan organisasi non
pemerintah belum optimal.
5.
Masih terbatasnya dan
rendahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah.
Hal ini ditunjukkan masih terbatasnya
ketersediaan aparatur pemerintah daerah, baik dari segi jumlah, maupun segi
profesionalisme, dan terbatasnya kesejahteraan aparat pemerintah daerah, serta
tidak proporsionalnya distribusi, menyebabkan tingkat pelayanan publik tidak
optimal yang ditandai dengan lambatnya kinerja pelayanan, tidak adanya
kepastian waktu, tidak transparan, dan kurang responsif terhadap permasalahan
yang berkembang di daerahnya. Selain itu belum terbangunnya sistem dan regulasi
yang memadai di dalam perekrutan dan pola karir aparatur pemerintah daerah
menyebabkan rendahnya sumberdaya manusia berkualitas menjadi aparatur
pemerintah daerah. Hal lainnya yang menjadi masalah adalah masih kurangnya
etika kepemimpinan di beberapa daerah.
6.
Masih terbatasnya kapasitas
keuangan daerah.
Hal ini ditandai dengan terbatasnya
efektivitas, efisiensi, dan optimalisasi pemanfaatan sumber-sumber penerimaan
daerah, belum efisiennya prioritas alokasi belanja daerah secara proporsional,
serta terbatasnya kemampuan pengelolaannya termasuk dalam melaksanakan prinsip
transparansi dan akuntabilitas, serta profesionalisme.
Di berbagai negara, sumber keuangan daerah
selalu menjadi polemik karena ada perbedaan distribusi sumber pendapatan antara
pemerintah daerah dengan pusat. Daerah selalu merasa bahwa sumber dana yang
dimiliknya kurang memadai dan pemerintah pusat dituduh enggan berbagi
pendapatan dengan daerah. Jika hal ini terjadi, maka adaa kondisi yang tidak
kondusif bagi revitalisasi pemerintahan daerah. Kondisi
seperti ini dapat mengakibatkan pemerintah daerah menyalahgunakan wewenangnya,
misalnya dalam pemungutan pajak dan izin lokasi yang dipersulit oleh pemerintah
daerah sehingga pada ujungnya investor asing membayar lebih untuk proses
penanaman modalnya.
Jadi berdasarkan uraian di atas menurut konsep keberhasilan
implementasi yang dikemukaakan Soenarko (2005:187) bahwa implementasi kebijakan
perizinan penanaman modal di jawa timur ditentukan oleh 3 kegiatan pokok
v Interpretation
Bahwa dalam pelaksanaan
kebijakan penanaman modal asing yang diterapkan oleh pemerintah daerah
khususnya di jawa timur yang merujuk pada Undang-undang Nomor 32 tahun 2004,
ini ditujukkan untuk menghadapai berbagai permasalahan dalam meningkatkan daya
tarik investor. Jadi berdasarkan
uraian di atas maka dalam implementasi kebijakan
perizinan penanaman modal asing di Jawa Timur sebagai upaya peningkatan pembangunan
ekonomi masyarakat di era Otonomi Daerah masih banyak permasalahan dalam
peningkatan daya tarik investor asing sehingga kehadiran investor asing
ini sangat dipengaruhi oleh kondisi internal suatu negara, yaitu stabilitas
ekonomi, politik negara dan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum yang
dimaksud ialah seperti masalah penegakan hukum dan pelaksanaan otonomi daerah.
Otonomi daerah yang dijalankan di Jawa timur masih belum dapat
terlaksana secara efisien, sistem birokrasi yang berbelit-belit dan masih
dijumpai belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah
termasuk regulasi-regulasi yang mengaturnya sehingga otonomi daerah menjadi
suatu bentuk ketidakpastian hukum dalam penanaman modal di Jawa Timur.
v Organization
Dalam pelaksanaan
penanaman modal asing di jawa timur yang paling berpengaruh dalam masuknya
penanaman modal adalah organisasi itu sendiri baik organisasi dari pemerintah
maupun organisasi yang dibentuk oleh swasta. Tujuan Organisasi disini dibentuk
sebagai penjembatan antara investor dengan pemerintah dalam penanaman modal
yang ada di jawa timur disamping itu tujuan lain dibentuknya organisasi adalah
1.
Menciptakan iklim investasi yang lebih menarik dan kondusif;
2.
Menarik investor melalui promosi potensi investasi daerah;
3.
Mendorong UMKM, Koperasi dan pengusaha kecil untuk menjalin
kemitraan dengan investor/calon investor;
4.
Memberikan pelayanan informasi dan perijinan dibidang penanaman
modal yang bertanggung jawab.
Untuk lebih mengoperasionalkan tujuan
organisasi, lebih lanjut dirinci menjadi sasaran sesuai dengan kebutuhan
organisasi, sebagai berikut :
1.
Meningkatkan kualitas perencanaan dan potensi penanaman modal,
dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan serta sumber daya alam yang ada.
2.
Meningkatkan Promosi Penaman Modal.
3.
Meningkatkan Kualitas Pelayanan Penanaman Modal, dengan
memanfaatkan Sistem Teknologi yang sedang berkembang.
4.
Meningkatkan Pengawasan dan Pengendalian Penanaman Modal atas
pelaksanaannya.
5.
Meningkatkan pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi.
Sehingga disini
organisasi dalam penanaman modal asing digunakan untuk menjadikan wadah didalam
menyelenggarakan rangkaian kebijakan guna mencapai tujuan tersebut.
v Application
Dalam hal ini pemerintah
daerah untuk menyadari pentingnya penanaman modal
asing, pemerintah daerah khususnya jawa timur menciptakan suatu iklim penanaman
modal yang dapat menarik modal asing masuk ke Indonesia. Usaha-usaha tersebut
antara lain adalah dengan mengeluarkan peraturan-peraturan tentang penanaman
modal asing dan kebijaksanaan pemerintah yang pada dasarnya tidak akan
merugikan kepentingan daerah dan kepentingan investor, namun disini pemerintah
daerah juga menemukan berbagi hambatan-hambatan didalam pelaksanaan modal asing
didaerah antara lain : Investor yang mengeluhkan banyaknya
pungutan pajak yang harus dibayar dan tumpang tindihnya regulasi pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah, Masih rendahnya kerjasama antar pemerintah
daerah. dll
3.2
Peluang dan Tantangan Dari
Implementasi Kebijakan Perizinan Penanaman Modal Asing di Jawa Timur.
Dalam membahas atau mengidentifikasi peluang dan tantangan dari
implementasi kebijakan perizinan penanaman modal asing di Jawa Timur, ada tiga
hal yang perlu dipahami. Pertama, ijin investasi tidak bisa dilihat sebagai
sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi harus menjadi satu paket dengan ijin-ijin
lain yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kegiatan usaha
atau menentukan untung ruginya suatu usaha.
Sejumlah UU dan peraturan menteri yang sangat berpengaruh terhadap
kelancaran proses mulai dari awal investasi hingga menjadi suatu perusahaan
yang siap beroperasi dan menghasilkan keuntungan. Jika UU yang tertera
berbenturan dengan UU PM No.25, 2007, sangat kecil harapan bahwa kehadiran UU
PM yang baru ini akan memberi hasil optimal. Misalnya, kontradiksi selama ini
antara upaya pemerintah meningkatkan investasi lewat salah satunya mempermudah
pengurusan izin penanaman modal dengan UU Migas No 22 tahun 2001 yang
menyatakan bahwa investasi di sektor migas harus melalui tiga pintu, yaitu izin
dari Dirjen Migas pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Kepala Badan
Pelaksana Kegiatan Usaha (BP) Migas dan Dirjen Bea Cukai (Depkeu).
Seorang pengusaha asing kemungkinan besar akan tetap membatalkan
niatnya berinvestasi di Indonesia walaupun proses pengurusan ijin investasi
menjadi lebih lancar dan lebih murah setelah dilaksanakannya UU PM No.25 2007
tersebut, jika UU mengenai kepabeanan dirasa tidak menguntungkannya karena
pengusaha tersebut akan banyak melakukan impor, atau pasar tenaga kerja di
Indonesia dirasa tidak fleksibel akibat berlakunya UU No.13 tahun 2003 mengenai
ketenagakerjaan.
Masalah koordinasi ini terasa semakin parah sejak pelaksanaan
otonomi daerah. Banyak peraturan pemerintah atau keputusan presiden tidak bisa
berjalan efektif karena adanya tarik-menarik kepentingan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah yang semuanya merasa paling berkepentingan atas
penanaman modal di daerah.Dalam kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah,
baik di tingkat propinsi, kabupaten dan kota diberikan kewenangan dalam bidang
penanaman modal. Namun, sejak pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah pusat
terpaksa mengeluarkan kepres khusus mengenai penanaman modal karena banyaknya
kendala yang dihadapi oleh para investor yang ingin membuka usaha di daerah,
khususnya yang berkaitan dengan proses pengurusan izin usaha. Investor
seringkali dibebani oleh urusan birokrasi yang berbelit-belit sehingga
membutuhkan waktu yang cukup lama dan disertai dengan biaya tambahan yang cukup
besar.
Persoalan ini muncul atau tidak adanya koordinasi yang baik antara
pusat dan daerah tersebut jelas disebabkan tidak adanya penjelasan lebih lanjut
secara teknis, termasuk di dalam isi pasal 11 UU No 22 tentang Pemerintahan
Daerah, termasuk soal pelaksanaannya penanaman modal daerah yang berakibat
tidak efisiennya pengurusan perizinan usaha. Karena tanpa suatu panduan yang
jelas, pemerintah daerah menafsirkan berbeda dengan pemerintah pusat mengenai
wewenang dalam pengurusan penanaman modal di daerah.
Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, pengurusan izin usaha
dilakukan oleh BKPM (pemerintah pusat) dan BKPMD (pemerintah daearah). Namun
setelah berlakunya otonomi daearah, terjadi ketidakjelasan mengenai pengurusan
izin usaha/investasi dan bukan hanya itu saja, juga terdapat tarik menarik
antara kegiatan BKPMD dengan BKPM serta instansi-instansi pemerintah daerah
lainnya yang menangani kegiatan investasi.
Sejak penerapan otonomi daerah hingga sekarang ini banyak
pemberitaan di media masa yang menunjukkan bahwa di sejumlah daerah kewenangan
penanaman modal digabung dalam dinas perindustrian dan perdagangan, atau bagian
perekonomian. Ada beberapa daerah yang membentuk suatu dinas khusus untuk
mengurus penanaman modal. Bahkan banyak kabupaten/kota yang sangat serius dalam
menciptakan iklim berinvestasi yang kondusif dengan membentuk kantor pelayanan
satu atap.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sebenarnya implementasi kebijakan perijinan penanaman modal asing
dalam prespektif otonomi daerah di jawa timur, menimbulkan permasalahan
dalam peningkatan daya tarik investor asing sehingga kehadiran investor asing
ini sangat dipengaruhi oleh kondisi internal suatu negara, yaitu stabilitas
ekonomi, politik negara dan ketidakpastian hukum. Otonomi daerah yang
dijalankan di Indonesia masih belum dapat terlaksana secara efisien, sistem
birokrasi yang berbelit-belit dan masih dijumpai belum jelasnya pembagian
kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah termasuk regulasi-regulasi yang
mengaturnya sehingga otonomi daerah menjadi suatu bentuk ketidakpastian hukum
dalam penanaman modal di Jawa Timur
Padahal peran PMA sebagai Peran penting dari PMA sebagai salah satu sumber
penggerak pembangunan ekonomi,selain itu sebagai sumber penting peralihan
teknologi dan knowledge lainnya. Peran ini bisa lewat dua jalur utama:
·
Pertama, lewat
pekerja-pekerja lokal yang bekerja di perusahaan-perusahaan PMA. Saat
pekerja-pekerja tersebut pindah ke perusahaan-perusahaan domestik, maka mereka
membawa pengetahuan atau keahlian baru dari perusahaan PMA ke perusahaan
domestik.
·
Kedua, lewat keterkaitan
produksi atau subcontracting antara PMA dan perusahaan-perusahaan lokal,
termasuk usaha kecil dan menengah juga akan membawa pengetahuan atau keahlian
baru bagi meraka perusahaan lokal dan usaha kecil dan menengah.
4.2
Saran
Dari berbagai masalah di atas seharusnya pemerintah memberikan
kemudahan dalam peizinan, dalam rangka meningkatkan investasi di daerah, maka
faktor perizinan perlu diperhatikan, antara lain diupayakan untuk mempermudah
pemberian pelayanan perizinan investasi dengan cara memperbanyak pusat
pelayanan pemberian persetujuan atau perizinan investasi dengan melimpahkan
wewenang. Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut di atas, menjadi penyebab
sebagian besar investor asing enggan masuk ke Indonesia atau enggan
merealisasikan rencana investasi mereka yang telah disetujui oleh pemerintah
serta terjadinya relokasi industri ke negara lain yang berakibat adanya capital
flight yang besar.
Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya keengganan masuknya
investasi asing ke Indonesia. Salah satu cara yang dapat menjadi pendukung
masuknya arus investasi ke sebuah negara, seperti jaminan keamanan, stabilitas
politik, dan kepastian hukum, yang tampaknya menjadi permasalahan tersendiri
bagi pemerintah Indonesia. Ketidak konsistenan penegakkan hukum masih menjadi
salah satu penghambat daya tarik Indonesia bagi investasi asing. Bahkan
kebijakan otonomi daerah menjadi permasalahan baru dalam kegiatan investasi di
beberapa daerah di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Agustino,
leo.2008. Dasar-dasar kebijkan Publik, Alfabeta :
Bandumg.
Analisis Kebijakan. Nugroho,
Rian. 2006. PT Elex Media Komputindo: Jakarta.
Islamy,Irfan.2004.Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Publik.Jakarta:Bumi
Aksara.
Keban,yeremias.2004.Enam Dimensi Administrasi Publik.Yogyakarta:Gaya
Media.
Kunarjo,
2000,Perencanaan dan Pembiayaan Pembangunan, Jakarta, UI Press
Nugroho D, Riant. 2006 Kebijakan Publik (Formulasi,
Implementasi dan Evaluasi) Jakarta: Penerbit Elex Media KOmputindo.
Prasojo, Eko, dkk. 2007. Deregulasi
dan Debirokratisasi Perizinan di Indonesia. Depok
Soenarko. 2005. Public Policy, Surabaya : Unair
Press
Suharto, Edi. 2008. Analisis
Kebijakan Publik. Cetakan Keempat. Bandung: Alfabeta
Thoha, Miftah. 1997. Dimensi-Dimensi
Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.
Thoha,Mifta.2008.Ilmu Administrasi Publik Kontemporer.Jakarta:Kencana
Artikel:
http://elib.unikom.ac.id//disk1/454/.babii.pdf,
jurnal implementasi kebijakan public, diakses 10 maret 2012.
Peraturan
Perundang-undangan:
Republik Indonesia. Undang-Undang
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Republik Indonesia. Keppres
No. 29 Thn 2004 Ttg. Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam,rangka PMA dan PMDN
Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap
Republik Indonesia. Peraturan
Menteri dalam Negeri No.24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar