Disusun Oleh:
KELAS
“B”
ANA
JAUHARUL ISLAM (0910310009)
AMRI
YULIAN FAHMI (0910310166)
HENDRA
ARIE CH (0910310062)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sebagaimana diamanatkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi
lagi atas daerah kabupaten dan kota, yang masing-masing sebagai daerah otonomi.
Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi, kabupaten/kota memiliki pemerintahan
daerah yang melaksanakan, fungsi-fungsi pemerintahan daerah, yakni Pemerintahan
Daerah dan DPRD. Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintahan Daerah baik
didaerah provinsi, maupun kabupaten/kota yang merupakan lembaga eksekutif di
daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga legislatif di daerah baik di
provinsi, maupun kabupaten/kota. Kedua-duanya dinyatakan sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintahan di daerah (Pasal 40 UU No. 32/2004) .
Sejalan dengan semangat
desentralisasi, sejak tahun 2005 Pemilu Kepala Daerah dilaksanakan secara
langsung (Pemilukada/Pilkada). Semangat dilaksanakannya pilkada adalah koreksi
terhadap system demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana
kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi
demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Melalui
pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara
langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara, dalam memilih
kepala daerah.
Dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah diterapkan prinsip demokrasi. Sesuai dengan pasal 18 ayat 4
UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam UU NO.32 Tahun 2004,
tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh
partai politik atau gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan UU No.32 Tahun
2004, yakni UU No.12 Tahun 2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat
juga diajukan dari calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Secara
ideal tujuan dari dilakukannya pilkada adalah untuk mempercepat konsolidasi
demokrasi di Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat terjadinya good
governance karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan
kebijakan. Hal ini merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya program
desentralisasi. Daerah telah memiliki otonomi untuk mengatur dirinya
sendiri , bahkan otonomi ini telah sampai pada taraf otonomi individu.
Selain semangat tersebut, sejumlah
argumentasi dan asumsi yang memperkuat pentingnya pilkada adalah: Pertama,
dengan Pilkada dimungkinkan untuk mendapatkan kepala daerah yang memiliki
kualitas dan akuntabilitas. Kedua, Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan
stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal. Ketiga,
dengan Pilkada terbuka kemungkinan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan
nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional
yang berasal dari bawah dan atau daerah.
Sejak diberlakukannya UU No.32 Tahun
2004, mengenai Pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat, telah banyak
menimbulkan persoalan, diantaranya waktu yang sangat panjang, sehingga sangat
menguras tenaga dan pikiran, belum lagi biaya yang begitu besar, baik
dari segi politik (issue perpecahan internal parpol, issue tentang money
politik, issue kecurangan dalam bentuk penggelembungan suara yang melibatkan
instansi resmi) , social (issue tentang disintegrasi social walaupun sementara,
black campaign dll.) maupun financial. Hal ini kita lihat
pada waktu pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah seperti di Daerah
Istimewa Aceh, birokrasi dijadikan “kendaraan politis” secara struktural untuk
mendukung pemenangan pilkada. Karena wacana pemilihan kepala daerah secara
langsung dapat merubah dominasi birokrasi dalam pelayanan masyarakat pada
proses pemerintah daerah. Artinya, pemerintah daerah sebagai mitra masyarakat
atau fasilitator untuk memecahkan masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik
bersama-sama dengan seluruh elemen masyarakat, mengingat tugas pokok dan fungsi
birokrasi sebagai aktor pelayanan masyarakat yang netral adil dan apolitis.
Realitasnya birokrasi menjadi
penghambat dan sumber masalah berkembangnya keadilan dan demokrasi seperti
terjadinya diskriminasi dan penyalahgunaan fasilitas dan dana Negara. Presiden
Amerika Serikat Ronald Reagen dan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher menyatakan
bahwa pemerintah bukanlah solusi untuk mengatasi penyakit masyarakat, tetapi
justru menjadi bagian terbesar dari persoalan masyarakat, sistem pelatanan
masyarakat sipil cenderung dibuat terbatas dan birokrasi relatif hanya
melaksanakan tugas rutin sehari-hari (L. Misbah Hidayat, 2007).
Setahun setelah pemilu 2004, pilkada
langsung mulai digelar, keinginan dan hasrat dari berbagai kalangan agar
pegawai negeri sipil (PNS) tidak terlibat parpol pun kembali dipermasalahkan
baik oleh birokrat sendiri, pengamat, pakar maupun elemen-elemen sosial dan
politik di masyarakat, hal ini dapat dijelaskan bahwa dari hasil pilkada
langsung sejak Juni 2005, sudah menghasilkan lebih dari 270 kepala daerah,
hampir 40 persen dimenangkan kalangan birokrat. Birokrat yang notabene adalah
PNS memang tidak dilarang mencalonkan diri dalam pilkada (Kompas, 3/1/2007).
Sebagaimana dijelaskan oleh Miftah
Thoha (1990), bahwa birokrasi yang bukan merupakan kekuatan politik ini
seharusnya dibebaskan dari pengaruh, dan keterjalinan ikatan politik dengan
kekuatan-kekuatan politik yang sewaktu-waktu bisa masuk birokrasi, dalam hal
seperti ini diharapkan pelayanan kepada masyarakat yang diberikan oleh
birokrasi netral, tidak memihak dan objektif. Dengan demikian masalah
netralitas birokrasi dalam pilkada dapat dijelaskan dengan berasumsi bahwa pertama,
birokrasi sebenarnya cenderung tidak netral, kedua birokrasi
harus dapat diusahakan supaya tidak netral, adil dan apolitis.
B.
Rumusan
Masalah
1)
Bagaimanakah gambaran umum netralitas
birokrasi (PNS) dalam PILKADA Daerah Istimewa Aceh berdasarkan azaz adil dan
kepentingan umum?
2)
Apakah kendala kendala dalam menggupayakan
netralitas birokrasi (PNS) pada PILKADA Daerah Istimewa Aceh berdasarkan azaz
adil dan kepentingan umum?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari
penulisan adalah berusaha untuk menjawab perumusan masalah yang telah
dilakukan. Sesuai dengan perumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya,
maka tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
a.
Mendeskripsikan dan menganalisa
netralitas birokrasi (PNS) dalam PILKADA Daerah Istimewa Aceh berdasarkan azaz
adil dan kepentingan umum?
b.
Mendeskripsikan dan menganalisa kendala-kendala dalam menggupayakan netralitas (PNS) pada
penyelenggaraan PILKADA Daerah Istimewa Aceh?
D.
Manfaat Penulisan
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan nilai (value),
baik secara teoritis maupun praktis terhadap bagaimana netralitas birokrasi dalam PILKADA Daerah
Istimewa Aceh berdasarkan azaz adil dan kepentingan umum sebagai suatu langkah
didalam penyelenggaraan pemilukada secara adil dan transparan, sehingga dapat
dijadikan kajian bagi praktisi, peneliti, akademisi dan pemerintah daerah aceh untuk
menambah pengetahuan dalam menyelenggarakan pemilu secara netral. Adapun
kontribusi penulisan yang ingin dicapai antara lain :
- Manfaat Akademis
a) Dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran dalam
kebijakan atau program-program yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam meningkatkan
penyelenggaraan pemilu secara adil dan berkepentingan umum.
b) Sebagai wacana dan rujukan bagi praktisi, peneliti, dan
akademisi dalam menelaah netralitas
birokrasi (PNS) dalam pemilihan kepala daerah di aceh
- Kegunaan Praktis
a) Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah
daerah aceh didalam menyelenggarakan pemilu daerah secara adil demi kepentingan
umum.
b) Sebagai bahan diskusi bagi akademisi, praktisi dan
peminat administrasi publik khususnya bidang kajian politik pemilihan umum
c) Memberikan sumbangan pemikiran kepada para ilmuwan dan
praktisi tentang netralitas birokrasi (PNS) didalam penyelenggaraan pemilukada
secara adil dan berkepentingan umum.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Pemilihan
Umum
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia
pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang
semula dilakukan oleh MPR,
disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan
ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali
pada Pemilu 2004. Pada 2007,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.
Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada
pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5
tahun sekali.
ü Asas
dalam Penyelenggaraan Pemilu (UU No 15 Tahun 2011)
Pemilihan
umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari
"Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada
sejak zaman Orde
Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara
langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti
seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti
pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun,
kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia
hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di
era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan
dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan
umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap
warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan
setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat
yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta
pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap
peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada
pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Serta
didalam kemudian didalam UU No 15 Tahun 2011 terdapat beberapa perubahan yaitu:
Asas penyelenggaraan pemilu yang berpedoman pada beberapa asas yaitu: Mandiri,
jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan,
proporsionalitas, propesionalitas, akuntabilitas, akuntabilitas, efisiensi dan
efektivitas
B. Pemilihan Kepala Daerah
Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk
memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum diberlakukannya undang-undang
nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun sejak Juni
2005 Indonesia menganut system pemilihan Kepala Daerah secara langsung.
Pada dasarnya daerah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini berkaitan dengan pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang seharusnya sinkron dengan pemilihan
presiden dan wakil presiden, yaitu pemilihan secara langsung. Menurut Rozali
Abdullah, (2005, hlm
53-55) beberapa
alasan mengapa diharuskan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
secara langsung, adalah:
1)
Mengembalikan kedaulatan ke
tangan rakyat
Warga
masyarakat di daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari warga
masyarakat Indonesia secara keseluruhan, yang mereka juga berhak atas
kedaulatan yang merupakan hak asasi mereka, yang hak tersebut dijamin dalam
konstitusi kita Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Oleh karena
itu, warga masyarakat di daerah, berdasarkan kedaulatan yang mereka punya,
diberikan hak untuk menentukan nasib daerahnya masing-masing, antara lain
dengan memilih Kepala Daerah secara langsung.
2)
Legitimasi yang sama antar
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan DPRD
Sejak
Pemilu legislatif 5 april 2004, anggota DPRD dipilih secara langsung oleh
rakyat melalui sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Apabila Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah tetap dipilih oleh DPRD, bukan dipilih langsung
oleh rakyat, maka tingkat legitimasi yang dimiliki DPRD jauh lebih tinggi dari
tingkat legitimasi yang dimiliki oleh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3) Kedudukan yang sejajar antara Kepala Daerah dan wakil daerah
dengan DPR
Pasal 16 (2) UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
menjelaskan bahwa DPRD, sebagai Badan Legislatif Daerah, berkedudukan sejajar
dan menjadi mitra pemerintah daerah. Sementara itu, menurut Pasal 34 (1) UU No.
22 Tahun 1999 Kepala Daerah dipilih oleh DPRD
dan menurut pasal 32 ayat 2 jo pasal 32 ayat 3 UU No.22 Tahun 1999,
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD. Logikanya
apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD
maka kedudukan DPRD lebih tinggi daripada Kepala Daerah. Oleh karena itu, untuk
memberikan mitra sejajar dan kedudukan sejajar antar Kepala Daerah dan DPRD
maka keduanya harus sama-sama dipilih oleh rakyat
4)
UU No.22 Tahun 2003 tentang
Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD
Dalam UU
diatas, kewenangan DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
sudah dicabut.
5)
Mencegah politik uang
Sering kita
mendengar isu politik uang dalam proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah oleh DPRD. Masalah politik uang ini terjadi karena begitu
besarnya wewenang yang dimiliki oleh DPRD dalam proses pemilihan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah. Oleh karena itu, apabila dilakukan pemilihan Kepala
Daerah secara langsung kemungkinan terjadinya politik uang bisa dicegah atau
setidaknya dikurangi.
Undang-undang nomor 22 tahun
2007 tentang penyelenggara pemilihan umum, mengamanatkan bahwa Pilkada dibawa
kedalam ranah Pemilihan umum. Sehingga secara resmi dinamakan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah. Pilkada yang pertama kali diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini
adalah Pilkada DKI Jakarta. Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas
Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Khusus di
Nanggroe Aceh Darussalam, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen
Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih
Aceh).
Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 pasal 56, peserta Pilkada adalah pasangan calon yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini
diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta
pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh
sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi
yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta Pilkada juga
dapat diusulkan oleh partai politik lokal.
Pilkada langsung sebagai
pengejawantahan dari demokratisasi lokal telah dilaksanakan di berbagai daerah
di Indonesia. Banyak evaluasi dan dan analisa mengenai pelenggaraannya
menyimpulkan suatu kondisi yang sama, yaitu
bahwa penyelengaraan Pilkada langsung belum sepenuhnya berjalan sesuai
yang diharapkan. Penerapan di lapangan masih menyisakan masalah yang mendasar.
Pilkada langsung masih didominasi kelompok elitis tertentu melalui oligarki
politik, sehingga pilkada langsung menjadi proses demokratisasi semu.
Partisipasi masyarakat lebih bersifat di mobilisasi. Hal ini sama halnya dengan
proses politik sebagai suatu penguatan demokrasi lokal masih belum terjadi,
justru konflik-konflik horizontal yang mengarah kepada anarkisme cenderung
sering terjadi, yang disinyalir sebagai akibat dari adanya berbagai kelemahan
dalam tata peraturan penyelenggaraannya, dan munculnya berbagai manipulasi dan
kecurangan.
Menurut Silahuddin dkk,
permasalahan – permasalahan yang timbul selama penyelenggaraan pilkada
langsung, yaitu :
a.
Permasalahan
kelembagaan pilkada langsung
Permasalahan ini berkaitan erat dengan
KPUD sebagai penyelenggara Pilkada, pengawas ( PANWAS ) serta dukungan
pemerintah daerah selama pilkada berlangsung.
b.
Permasalahan
dalam tahapan persiapan pilkada langsung
Permasalahan krusial yang kerap terjadi
selama pilkada antara lain adalah sempitnya masa pemberitahuan dari DPRD kepada
Kepala Daerah dan KPUD tentang masa berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah,
masalah pemantauan pilkada langsung, masalah sosialisasi.
c.
(Permasalahan
dalam tahapan pelaksaan) pilkada langsung
Lemahnya pemutakhiran data pemilih,
mekanisme pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, pelanggaran
kampanye, manajemen logistic pilkada, masalah money politic, masalah pendanaan
dan pertanggung jawabannya, hal tersebut diatas merupakan masalah krusial pada
tahapan pelaksanaan pilkada langsung
C.
Netralitas PNS
Secara
teoritik, wacana netralitas PNS dalam politik (baik politik lokal maupun
nasional) merupakan tema lama yang selalu aktual untuk dibicarakan. Terlebih di
tengah era pilkada langsung selalu ada perkembangan menarik yang terkait dengan
peran, posisi dan tanggungjawab PNS. Pada dasarnya Pegawai Negeri Sipil (PNS)
di negara manapun mempunyai tiga peran yang serupa.
Pertama, sebagai pelaksana peraturan dan
perundangan yang telah ditetapkan pemerintah. Untuk mengemban tugas ini,
netralitas PNS sangat diperlukan.
Kedua, melakukan fungsi manajemen
pelayanan publik. Ukuran yang dipakai untuk mengevaluasi peran ini adalah
seberapa jauh masyarakat puas atas pelayanan yang diberikan PNS. Tujuan utama
otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga PNS
pada daerah-daerah tersebut mengerti benar keinginan dan harapan masyarakat
setempat.
Ketiga, PNS harus mampu mengelola
pemerintahan. Artinya pelayanan pada pemerintah merupakan fungsi utama PNS.
Setiap kebijakan yang diambil pemerintah harus dapat dimengerti dan dipahami
oleh setiap PNS sehingga dapat dilaksanakan dan disosialisasikan sesuai dengan
tujuan kebijakan tersebut.
Pengertian
PNS netral bukan berarti birokrat mengisolasi diri dengan tutup mata, tutup
telinga dari dunia politik. PNS dituntut mengikuti perkembangan politik
sehingga memperoleh informasi cukup untuk menjatuhkan pilihan secara tepat
terhadap partai politik atau calon dalam pilkada. PNS sebagai bagian dari
pejabat eksekutif tidak bisa terlepas dari pengaruh politik. Karena menyangkut
dinamika realitas pemerintahan yang hampir setiap saat terjadi dalam praktik
politik Misalnya, saat pembahasan usulan APBD atau usulan kebijakan seperti
peraturan daerah (perda) dengan legislatif. Setelah semua argumentasi
disampaikan pejabat eksekutif, masih bisa dimentahkan legislatif.
Itu sebabnya pejabat eksekutif tidak boleh
buta politik agar mampu melakukan lobi, adu argumentasi, dan menyampaikan fakta
serta data secara meyakinkan, sehingga mampu menghasilkan kebijakan yang
berkualitas serta di dukung wakil rakyat di legislatif. PNS juga harus aktif
menjadi pemilih dan memberikan sosialisasi kepada keluarga dan lingkungannya
tentang pilkada, sehingga bisa mengurangi angka golput. Netralitas mengharuskan
PNS tidak menyatakan dukungan secara terang-terangan di depan publik, tidak
melibatkan diri, dan tidak berpihak, serta tidak membantu salah satu
partai politik atau kandidat yang bersaing dalam pilkada.
Netralitas
PNS menjadi penting karena semakin banyaknya pejabat negara mulai dari
presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota, yang berasal dari partai
politik. Kondisi ini akan membawa implikasi serius terhadap netralitas
birokrat. PNS dituntut bertindak profesional antara menjaga netralitas dalam
memberikan pelayanan sekaligus tetap menjunjung loyalitas terhadap atasan,
meskipun beda warna politiknya. Sehingga PNS tidak mudah terbawa arus pusaran
politik atau terkooptasi oleh kepentingan politik atasannya.
D.
Prinsip Netralitas PNS
Netralitas
berasal dari kata “netral” yang berarti tidak membantu atau tidak mengikuti
salah satu pihak, dan netralitas adalah sikap netral (Poerwadarminta,
1976:675). Berdasarkan pengertian itu maka dapat diketahui bahwa seseorang
dikatakan netral apabila ia tidak memihak kepada dua atau lebih orang atau
memihak kepada organisasi atau lembaga dalam penentuan sesuatu misalnya
organisasi partai politik.
Dalam
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, dalam Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa dalam
kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus
netral dari pengaruh semua golongan dan dari partai politik. Dan dalam ayat (3)
ditegaskan bahwa untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai
politik.
Untuk
menjaga agar netralitas PNS dalam suatu kehidupan politik yang lebih dinamis,
sistem kepegawaian yang ada harus mampu mempertahankan prinsip netralitas
dengan cara memisahkan secara tegas antara jabatan negara dengan jabatan negeri
dan jabatan pada lembaga khusus yang dibentuk dengan peraturan
perundangan. Jabatan negeri dan jabatan pada lembaga khusus tersebut adalah
jabatan karier untuk para pegawai negara profesional. Di Korea Selatan, seorang
yang dinyatakan lulus sebagai pegawai pemerintah, maka penentuan karirnya
sangat ditentukan oleh indeks prestasi (IP) kelulusannya di perguruan tinggi.
Bila IP-nya lebih tinggi dari calaon pegawai lain yang juga dinyatakan lulus,
maka ia dipersilahkan untuk memilih di mana (atau di kantor mana) ia akan
bekerja sesuai dengan profesionalitasnya. Ini menunjukkan bahwa ia tidak
terkooptasi dengan kebijakan departemental, tetapi terpilih secara nasional
karena prestasinya di perguruan tinggi dan dapat dipastikan netral karena
pekerjaan ia sendiri yang memilih, bukan ditentukan berdasarkan formasi. Berbeda
dengan di Indonesia, kelulusan berdasarkan kuota, bukan berdasarkan kecerdasan
intelektual.
Selanjutnya,
untuk mempercepat dan menjamin pembangunan profesionalitas pada aparatur
negara, netralitas aparatur negara dari kegiatan poltik harus dijaga. Dengan
adanya netralitas tersebut, aparatur negara tidak terlalu perlu mengalami
kegelisahan yang berarti bila terjadi pergantian pejabat pemerintahan.
E.
Pilkada dan Netralitas Birokrasi
Netralitas birokrasi adalah
birokrasi pemerintah yang tidak memihak kepada kekuatan politik dan golongan
yang dominan istilah politiknya disebut apolitic, agar eternal pelayanan
dan pengabdiannya kepada pemerintah dan kepada seluruh masyarakat atau sebagai
abdi negara dan abdi rakyat (Miftah Thoha, 1990).
Secara etimologis birokrasi berasal
dari kata “biro” (bureau) yang berarti kantor, dan kata “krasi” (cracy,
kratie) yang berarti pemerintahan (Ramlan Surbakti, 1992), dalam literature
ilmu sosial birokrasi umumnya dipandang sebagai aktor yang sekedar menerapkan
kebijaksanaan yang telah diputuskan ditempat lain, dan mendominasi kegiatan
administrasi pemerintahan, tetapi juga kehidupan politik masyarakat secara
keseluruhan (Mohtar Mas’oed, 1994).
Pilkada merupakan sarana pelaksanan
kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan atau kabupaten/kota berdasarkan
Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil
kepala daerah (PPRI No 6 tahun 2005, pasal 1 ayat 1). Sedangkan kepala dan
wakil daerah adalah gubernur.wakil gubernur untuk provinsi, bupati, dan wakil
bupati untuk kabupaten serta waklikota/wakil walikota untuk kota (PPRI No 6
tahun 2005, pasal 1 ayat 2).
F.
Akibat Ketidaknetralan PNS
Dalam praktik, tercatat ada tiga
bentuk pelanggaran yang dilakukan PNS dan pejabat pemerintahan dalam pemilu
(Prasojo, Kompas 3 Maret 2009) yaitu pertama, penyalahgunaan kewenangan yang
dimiliki, antara lain menerbitkan aturan yang mewajibkan kampanye kepada
bawahan, pengumpulan dana bagi parpol tertentu, pemberian izin usaha disertai
tuntutan dukungan kepada parpol/caleg tertentu, penggunaan bantuan pemerintah
untuk kampanye, mengubah biaya perjalanan dinas, dan memaksa bawahan membiayai
kampanye parpol/caleg dari anggaran negara.
Kedua, penggunaan fasilitas negara
secara langsung, misalnya penggunaan kendaraan dinas, rumah dinas, serta kantor
pemerintah dan kelengkapannya dan ketiga, pemberian dukungan lain, seperti
bantuan sumbangan, kampanye terselubung, memasang atribut parpol/caleg di
kantor, memakai atribut parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye dengan
menggunakan pakaian dinas dan kelengkapannya, serta pembiaran atas pelanggaran
kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan perlakuan tidak
adil/diskriminatif atas penggunaan fasilitas negara kepada parpol/caleg.
G.
Analisis
SWOT
Analisis
SWOT adalah instrument perencanaaan strategis yang klasik. Dengan menggunakan
kerangka kerja kekuatan dan kelemahan dan kesempatan ekternal dan ancaman,
instrument ini memberikan cara sederhana
untuk memperkirakan cara terbaik untuk melaksanakan sebuah strategi. Instrumen
ini menolong para perencana apa yang bisa dicapai, dan hal-hal apa saja yang
perlu diperhatikan oleh para perumus kebijakan.
·
Analisis
SWOT terdiri dari empat faktor, yaitu:
ü
Strengths (kekuatan)
merupakan kondisi
kekuatan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada.
Kekuatan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis
itu sendiri. Artinya faktor yang menjadikan birokrasi pegawai negeri sipil
tidak netral secara politik adalah bahwa mereka cenderung dijadikan kendaraan
politik yang tidak adil dan berlandaskan kepentingan umum didalam
menyelenggarakan tugasnya sebagai pelayan kepada masyarakat.
ü
Weakness (kelemahan)
merupakan kondisi
kelemahan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang
ada.Kelemahan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis
itu sendiri.Yaitu pada dasarnya pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di
aceh apartur birokrasi terutama pegawai negeri sipil masih kurang
professional artian disini birokrasi lebih dijadikan “kendaraan
politis” secara struktural untuk mendukung pemenangan pilkada. Karena wacana
pemilihan kepala daerah secara langsung dapat merubah dominasi birokrasi dalam
pelayanan masyarakat pada proses pemerintah daerah, karena seharusnya bahwa
birokrasi tersebut harus netral secara politik.
ü
Opportunities (peluang)
merupakan kondisi
peluang berkembang di masa datang yang terjadi. Kondisi yang terjadi merupakan
peluang dari luar organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. misalnya
kompetitor, kebijakan pemerintah, kondisi lingkungan sekitar. Artinya ketika
birokrasi terutama pegawai negeri tersebut dijadikan roda penggerak politik
maka dipastikan akan banyak memberikan suatu keuntungan kepada kelompok
tertentu, secara
struktural untuk mendukung pemenangan pilkada. Karena wacana pemilihan kepala
daerah secara langsung dapat merubah dominasi birokrasi dalam pelayanan
masyarakat pada proses pemerintah daerah. sehingga nantinya
didalam menjalankan tugasnya sebagai pemberi layanan kepada masyarakatpun
cenderung juga tidak adil, karena
seharusnaya birokrasi harus netral dan apolitis.
ü
Threats (ancaman)
merupakan kondisi yang
mengancam dari luar. Ancaman ini dapat mengganggu organisasi, proyek atau
konsep bisnis itu sendiri. Artinya ada banyak dampak yang ditimbulkan ketika
PNS itu tidak adil didalam melaksanakan pelayanan public karena mereka
cenderung tidak netral secara politik karena aka nada golongan tertentu yang
diuntungkan dan juga tidak sedikit yang dirugikan. Selain itu Faktor
vested-interest yaitu kepentingan memelihara dan meningkatkan posisi
karir/jabatan, juga kepentingan jaringan bisnis dan politik oleh shadow-bureaucracy
tampak menjadi faktor dominan yang mendorong birokrasi masih berpolitik dalam
pilkada langsung. Sebagian PNS masih berspekulasi menjadi tim sukses dengan
harapan jika kandidat yang ia dukung menang, ia bisa mendapat posisi yang lebih
penting atau pimpinan proyek. Bila kandidat yang didukung menang pilkada,
mereka bisa ”menggusur” posisi birokrat yang netral (non-partisan).
BAB III
PEMBAHASAN
- Gambaran umum netralitas birokrasi (PNS) dalam PILKADA Daerah Istimewa Aceh Berdasarkan Azaz Adil dan Kepentingan Umum
Pemilihan
umum kepala daerah merupakan suatu pesta rakyat yang diselenggarakan untuk
memilih calon pemimpin, baik dalam ranah kabupaten maupun kota. Sesuai dengan
azas pemilu yang Jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia (Jurdil
Luber), maka diharapkan pelaksanaan Pemilu itu sendiri dapat berjalan secara
netral dan tidak bersifat diskriminatif. Dengan adanya Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) dari KPU yang mengawasi jalannya pelaksanaan pemilu dapat dikatakan
pelaksanaan Pemilu sudah profesional dan netral.
Tetapi,
pada faktanya di lapangan, tidak semua pelaksanaan Pemilihan Umum calon
pemimpin di suatu daerah bebas dari praktek – praktek kotor. Pemilihan Umum
yang berlangsung di Aceh diharapkan oleh sebagian besar masyarakat justru
dinodai dengan praktek – praktek kecurangan dari pihak tim sukses maupun
kecurangan dalam penghitungan suara. Hal ini merupakan suatu gambaran yang pilu
bagi Pemilihan Umum di Indonesia, khususnya di Aceh, karena Pemilihan Umum yang
diusung dengan azas keadilan dan netralitas ternyata dalam menyukseskannya
harus dibayar dengan kecurangan.
Berbagai
macam bentuk kecurangan yang terjadi dalam Pemilihan Umum di daerah Aceh. Salah
satunya adanya keterlibatan oknum PNS dalam menyukseskan PEMILUKADA di Aceh.
Dalam website Pemerintah Lhokseumawe (www.lhokseumawekota.go.id) pada tanggal 26 Maret 2012 Penanggung
Jawab (PJ) Walikota menemukan sedikitnya 2 kasus pelanggaran dalam PEMILUKADA :
“Pj
Walikota Lhokseumawe menemukan sedikitnya dua pelanggaran pemilukada dilakukan
pengawai negeri sipil di lingkungan pemko. 2 kasus tersebut di-indikasikan
beberapa oknum PNS terlibat aktif mendukung salah satu calon walikota. Sampai
saat ini pihaknya tengah mempelajari kasus tersebut hingga sangsi yang akan
dijatuhkan. 2 oknum PNS itu salah satunya guru, dari tangan oknum tersebut Pj
walikota menemukan sms justru menuding Drs. Ariffin Abdullah selaku Pj walikota
terlibat mendukung salah satu calon . Sedangkan satu kasus lagi melibatkan PNS
dilingkungan pemko, oknum tersebut dengan sengaja melibatkan diri mempromosikan
salah satu calon, menempelkan salah satu gambar calon walikota. Bahkan ada juga
pegawai honor menempel stiker calon walikota di kendaraan dinas.”
Berdasarkan
UU RI No 43 tahun 1999 tentang perubahan atas UU RI No 8 tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian pasal 3 ayat 1 menjelaskan bahwa PNS berkedudukan
sebagai unsure aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan
tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Pasal 3 ayat 2 dalam kedudukan dan
tugas sebagaimana dimaksud dengan ayat 1, PNS harus netral dari pengaruh semua
golongan dan parpol, serta tindak diskriminatif dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Sedangkan pada Pasal 3 ayat 3 untuk menjamin netralitas PNS
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, PNS dilarang menjadi anggota dan/atau
pengurus parpol.
Berdasarkan
penjelasan diatas, bahwa birokrasi atau PNS dibolehkan mencalonkan pilkada, hal
ini didukung oleh peraturan tersebut di atas yang diberikan kesempatan oleh
parpol atau gabungan parpol (pasal 59 ayat 3), jika dikaitkan dengan netralitas
birokrasi dalam pilkada, terbukti birokrasi yang mencalonkan diri sebagai calon
kepala daerah atau wakil kepala daerah berarti tidak netral, karena harus
melalui parpol dan gabungan parpol (Pasal 59 ayat 1), dan juga diberikan
kesempatan tetap berstatus sebagai PNS, karena hanya mengundurkan diri dari
jabatan negeri yakni jabatan struktural dan jabatan fungsional (Pasal 59 ayat 5
(g), oleh karena itu, secara individu dijamin hak azasi manusianya. PNS atau
birokrasi yang mencalonkan diri dalam pilkada, terbukti melanggar UU RI No 43
tahun 1999 pasal 3 ayat 1, 2, dan 3 karena tidak profesional mengingat jabatan
pilkada adalah jabatan politik, sedangkan jabatan PNS adalah jabatan karir
administratif sebagai pelayan masyarakat yang harus netral, sedangkan jabatan
pilkada terkait dengan parpol atau gabungan parpol, dengan demikian melanggar
pasal 3 ayat 2 dan ayat 3, sehingga secara institusional birokrasi atau PNS
dibatasi hak politiknya.
Dapat
dilihat dari penjelasan mengenai keterlibatan birokrasi / PNS dalam
keikutsertaan dalam Pemilihan Umum. Dengan adanya keberpihakan suatu oknum
pemerintahan dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah merupakan suatu
bentuk dari ketidakadilan dalam Pemilu, dimana masih adanya para oknum
pemerintahan di Aceh yang menggunakan kekuasaannya sebagai “roda penggerak”
dalam menyukseskan suatu kelompok dalam kancah perpolitikan. Dijelaskan dalam
Undang – Undang Kepegawaian bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak boleh
berpihak kepada satu pihak dan harus bersikap netral dalam menjalankan tugas
dan juga dilarang menjadi anggota dan / atau pengurus parpol.
Selain
dari permasalahan diatas, adanya suatu pelanggaran – pelanggaran lainnya yang
melibatkan oknum – oknum pemerintahan, seperti adanya petugas penyelenggara
tingkat desa, kecamatan, kabupaten tidak bertindak netral dalam menjalankan
tugas penyelenggaraan PEMILUKADA dan adanya penggunaan dana APBK untuk
menjalankan kampanye. Pada permasalahan diatas, dapat dijelaskan bahwa masih
tidak berlakunya azas keadilan dalam Pemilihan Umum yang diselenggarakan di
Aceh, dengan adanya keikutsertaan dari oknum – oknum pemerintahan, maka
pelaksanaan dari pemilihan umum bersifat lebih mengedepankan kepentingan
kelompok dibandingkan kepentingan umum. Karena banyak dari oknum pemerintahan
yang menyalahgunakan wewenang dalam menjalankan tugasnya untuk mendukung salah
satu calon kandidat dalam PEMILUKADA.
- Kendala-kendala dalam menggupayakan netralitas birokrasi (PNS) pada PILKADA Daerah Istimewa Aceh berdasarkan azaz adil dan kepentingan umum
Kalau lihat dari berbagai sisi bahwa semua
stakeholder ingin mengupayakan pentingnya untuk melihat proses Pilkada sebagai
bagian integral dari proses demokratisasi di Indonesia, dengan mengupayakan semua penyelenggaraan
pemilu yang berdasarkan azas-azas pemilu yang berdasarkan uu no. 15 tahun 2011
yang terdiri dari mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan
umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesuionalitas, akuntabilitas, efisiensi
dan efektifitas, namun ketika melihat berbagai permasalahan di daerah istimewa
aceh tentang netralitas birokrasi PNS yang cenderung menjadi” roda politik” .
bagaimana birokrasi yang seharusnya melayani masyarakat malah terjun dalam
ranah politik yang cenderung tidaka netral, sehingga dirasa perlu untuk
mengembalikan citra birokrasi yang harus netral secara politik, namun upaya
tersebut dirasakan sangat tidak mudah karena banyak berbagai factor yang
menjadi kendala didalam mengupayakan birokrasi yang netral secara politik dan
melayani masyarakat secara lebih adil dan berasaskan kepentingan umum.
1. Kendala
Politik
Kondisi
politik di Indonesia pada saat ini, baik di infrastruktur maupun suprastruktur
masih belum stabil, kompetisi antar partai politik tidak dilakukan dengan sehat
tetapi dengan menggunakan cara dan strategi yang dapat menimbulkan konflik
baru. Kedewasaan para elite politik yang masih sangat memprihatinkan dan memberikan
contoh yang kurang baik bagi masyarakat menjadi salah satu hal yang menciptakan
kondisi politik seperti itu di Indonesia. Dengan kondisi seperti itu Politik yang
biasanya sebagai pengendali birokrasi tidak bisa menjalankan perannya secara optimal.
Bahkan para elite politik yang berkuasa
menghendaki birokrasi menjadi miliknya yang akan dijadikan alat untuk
melanggengkan kekuasaan. Politik terhadap Birokrasi yang begitu kuat baik dari
legislatif terlebih dari pimpinan eksekutif menimbulkan netralitas birokrasi
hanya dalam tatanan konsep.
Namun
demikian birokrasi tidak bisa dikuasai dengan mudah, birokrasi yang telah
dibentuk sejak sebelum kemerdekaan dan telah memiliki pola pikir tersendiri. Sehingga
pergantian elite politik atau rejim yang berkuasa tidak serta merta akan merubah
pola pikir dan kebiasaan yang ada pada birokrasi. Bahkan tidak tertutup kemungkinan
para elite politik akan tergiring atau terbawa arus pada pola pikir dan kebiasaan
birokrasi. Kebijakan-kebijakan yang reformis di tingkat elite politik tidak bisa
diturunkan atau dilaksanakan di lapangan karena Birokrasi memiliki kebijaksanaan
dan kepentingan tersendiri. Akhirnya kebijakan-kebijakan tersebut tidak pernah
dapat direalisasikan.
2. Kendala
Dalam Sistem Birokrasi
Sistem,
prosedur dan kebiasaan yang sekian lama tertanam dan terbentuk dalam Birokrasi
tidak serta merta dapat dirubah, daya resistensi yang begitu tinggi terutama
dari elite-elite birokrasi yang telah menikmati keuntungan-keuntungan dari sistem
yang ada menjadikan ingin tetap mempertahankannya. Adanya resistensi tersebut
diperkuat dengan suatu aturan yang menempatkan kekuasaan tersentralisir di tangan
pimpinan tertinggi organisasi. Perubahan sulit dilakukan dari bawah karena akhirnya
bermuara ke atas dan yang menentukan adalah dari atas/pimpinan. Ide dan gagasan
yang konstruktif dan reformatif dari bawah akan menghasilkan kebijakan dan kebijaksanaan
konservatif yang defensif dari atas.
3. Kendala
Sosial Budaya
Aspek
sosial budaya baik yang ada dalam birokrasi maupun yang melingkupi birokrasi
turut serta berperan dalam mempengaruhi proses reformasi birokrasi, tanpa dukungan
sosial budaya proses reformasi akan sulit dilakukan. Kegagalan penerapan sistem-sistem
barat yang diadopsi negara berkembang disebabkan oleh tidak sinkron atau kurang
memperhatikan aspek sosial budaya.
Aspek
sosial budaya yang ada akan membentuk perilaku dan pola pikir aparat birokrasi
dan masyarakat. Perilaku dan pola pikir yang berkembang di masyarakat dan aparat
birokrasi yang kurang mendukung antara lain :
a)
Budaya kita yang terlalu
mengagung-agungkan simbol, mendorong birokrasi kita lebih menonjolkan aspek
formalitas. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan asal dapat terlaksana kualitas
pekerjaan tidak menjadi perhatian. Begitu juga halnya orang melihat orang lain
bukan didasarkan pada keahliannya tetapi kepada sertifikat/ijazah (simbol) yang
dimilikinya.
b)
Kesuksesan seseorang hanya dilihat dari
aspek materi, orang akan lebih menghormati orang yang memiliki kekayaan dari
pada yang biasa-bisa sehingga pelayanan yang diberikan akan berbeda-beda.
c)
Budaya Paternalisme dan senioritas,
pimpinan selalu dianggap yang serba tahu dan harus memberikan suri tauladan dan
bawahan akan berpatokan pada contoh-contoh yang diberikan pimpinannya. Untuk
menjadi pimpinan dilakukan dengan pendekatan senioritas dengan asumsi orang
yang lebih tua telah memiliki asam garam yang lebih banyak dan tentu saja akan
memiliki keahlian dan kemampuan yang lebih baik.
d)
Budaya kekerabatan (nepotisme) yang
kental dalam masyarakat kita dan dalam birokrasi kita, penerapannya dilakukan
secara buta tanpa memandang aspek atau faktor yang lain. Dalam prakteknya
pengangkatan pejabat atau penerimaan pegawai tanpa memandang keahlian dan
kemampuan tapi hanya melihat siapa dia apakah kerabat atau bukan kerabat.
e)
Budaya permisif, masyarakat terkadang
terlalu mentolelir kelakuan-kelakuan yang menyimpang sehingga menjadi kebiasaan
dan orang tidak takut melakukannya bahkan karena dibiarkan menjadi dianggap
benar dan orang lain ikut melakukannya.
Dengan
dipetakannya dan dipahaminya Kendala dan permasalahan yang dihadapi, kemudian
dibandingkan dengan kondisi ideal yang ingin diwujudkan yakni netralitas
birokrasi (PNS) pada PILKADA Daerah Istimewa Aceh, maka akan diketahui positioning
Birokrasi Indonesia. Didasarkan pada
kenyataan tersebut maka langkah netralitas birokrasi (PNS) harus dilakukan
secara terintegrasi dan terpadu serta dilakukan secara sistematis. Untuk itu langkah
berikutnya adalah merumuskan dan menetapkan Grand Design (Blue Print) dalam
pelaksaan PILKADA Daerah Istimewa Aceh sebagai rencana strategis dalam menata
birokrasi
BAB IV
PENUTUP
- KESIMPULAN
Keterlibatan
birokrasi khususnya PNS dalam keikutsertaan dalam Pemilihan Umum. Dengan adanya
keberpihakan suatu oknum pemerintahan dalam penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah merupakan suatu bentuk dari ketidakadilan dalam Pemilu, dimana masih
adanya para oknum pemerintahan di Aceh yang menggunakan kekuasaannya sebagai
“roda penggerak” dalam menyukseskan suatu kelompok dalam kancah perpolitikan.
Dijelaskan dalam Undang – Undang Kepegawaian bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS)
tidak boleh berpihak kepada satu pihak dan harus bersikap netral dalam
menjalankan tugas dan juga dilarang menjadi anggota atau pengurus parpol.
Analisis
SWOT Sebagai instrument perencanaaan strategis yang klasik. Dengan menggunakan
kerangka kerja kekuatan dan kelemahan dan kesempatan ekternal dan ancaman,
instrument ini memberikan cara sederhana
untuk memperkirakan cara terbaik untuk melaksanakan sebuah strategi. Instrumen
ini menolong para perencana apa yang bisa dicapai, dan hal-hal apa saja yang
perlu diperhatikan oleh para perumus kebijakan terutama dalam hal mengedepankan
netralitas dalam PILKADA.
·
Analisis
SWOT terdiri dari empat faktor, yaitu:
ü
Strengths (kekuatan)
merupakan kondisi
kekuatan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada.
Kekuatan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis
itu sendiri. Artinya faktor yang menjadikan birokrasi pegawai negeri sipil
tidak netral secara politik adalah bahwa mereka cenderung dijadikan kendaraan
politik yang tidak adil dan berlandaskan kepentingan umum didalam
menyelenggarakan tugasnya sebagai pelayan kepada masyarakat.
ü
Weakness (kelemahan)
merupakan kondisi
kelemahan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang
ada.Kelemahan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis
itu sendiri.Yaitu pada dasarnya pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di
aceh apartur birokrasi terutama pegawai negeri sipil masih kurang
professional artian disini birokrasi lebih dijadikan “kendaraan
politis” secara struktural untuk mendukung pemenangan pilkada. Karena wacana pemilihan
kepala daerah secara langsung dapat merubah dominasi birokrasi dalam pelayanan
masyarakat pada proses pemerintah daerah, karena seharusnya bahwa birokrasi
tersebut harus netral secara politik.
ü
Opportunities (peluang)
merupakan kondisi
peluang berkembang di masa datang yang terjadi. Kondisi yang terjadi merupakan
peluang dari luar organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. misalnya
kompetitor, kebijakan pemerintah, kondisi lingkungan sekitar. Artinya ketika
birokrasi terutama pegawai negeri tersebut dijadikan roda penggerak politik
maka dipastikan akan banyak memberikan suatu keuntungan kepada kelompok
tertentu, secara
struktural untuk mendukung pemenangan pilkada. Karena wacana pemilihan kepala
daerah secara langsung dapat merubah dominasi birokrasi dalam pelayanan
masyarakat pada proses pemerintah daerah. sehingga nantinya
didalam menjalankan tugasnya sebagai pemberi layanan kepada masyarakatpun
cenderung juga tidak adil, karena
seharusnaya birokrasi harus netral dan apolitis.
ü
Threats (ancaman)
merupakan kondisi yang
mengancam dari luar. Ancaman ini dapat mengganggu organisasi, proyek atau
konsep bisnis itu sendiri. Artinya ada banyak dampak yang ditimbulkan ketika
PNS itu tidak adil didalam melaksanakan pelayanan public karena mereka cenderung
tidak netral secara politik karena aka nada golongan tertentu yang diuntungkan
dan juga tidak sedikit yang dirugikan. Selain itu Faktor vested-interest yaitu
kepentingan memelihara dan meningkatkan posisi karir/jabatan, juga kepentingan
jaringan bisnis dan politik oleh shadow-bureaucracy tampak menjadi faktor
dominan yang mendorong birokrasi masih berpolitik dalam pilkada langsung.
Sebagian PNS masih berspekulasi menjadi tim sukses dengan harapan jika kandidat
yang ia dukung menang, ia bisa mendapat posisi yang lebih penting atau pimpinan
proyek. Bila kandidat yang didukung menang pilkada, mereka bisa ”menggusur”
posisi birokrat yang netral (non-partisan).
Daftar
Pustaka
Ari Pradhanawati, 2005, Pilkada Langsung, Tradisi Baru Demokrasi
Lokal, Surakarta, KOMPIP.
Bambang
Kuncoro, netralitas birokrasi dalam pemilukada. Jurnal Ilmu Politik UNSOED
Purwokerto, Swara Politika Vol 10, No.1. 2007).
Prasojo,
Eko. Demokrasi Di Negeri Mimpi: Catatan Kritis terhadap Pemilu 2004 dan Good
Governance. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Jakarta: 2005.
Referensi
lain:
regional.kompas.com/read/2012/03/13/.../PNS.Jangan.Memihak.,
diakses 5 mei 2012
aceh.tribunnews.com/.../mendagri-pilkada-aceh-harus-bebas-intimida.., diakses 5 mei 2012.
Tabloid berita mingguan
modus aceh (rakyat aceh memilih), 9-15 april 2012
Undang-undang dasar 1945
Undang-undang no.15 tahun
2011 tentang penyelenggaraan pemilu
Undang-undang no.32 tahun
2004 tentang peerintahan daerah
mantap artikelnya,
BalasHapuswww.kiostiket.com