Sabtu, 02 Juni 2012

NETRALITAS BIROKRASI (PNS) DALAM PILKADA DAERAH ISTIMEWAH ACEH (Berdasarkan Azaz Adil dan Kepentingan Umum)


Disusun Oleh:
KELAS “B”

ANA JAUHARUL ISLAM             (0910310009)
AMRI YULIAN FAHMI                 (0910310166)
HENDRA ARIE CH                                    (0910310062)
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi  dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota, yang masing-masing sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi, kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan, fungsi-fungsi pemerintahan daerah, yakni Pemerintahan Daerah dan DPRD.  Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintahan Daerah baik didaerah provinsi, maupun kabupaten/kota yang merupakan lembaga eksekutif di daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga legislatif di daerah baik di provinsi, maupun kabupaten/kota. Kedua-duanya dinyatakan sebagai unsur penyelenggaraan  pemerintahan di  daerah (Pasal 40 UU No. 32/2004) .
Sejalan dengan semangat desentralisasi, sejak tahun 2005 Pemilu Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung (Pemilukada/Pilkada). Semangat dilaksanakannya pilkada adalah koreksi terhadap system demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi  yang berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Melalui pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara, dalam memilih kepala daerah.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip demokrasi. Sesuai dengan pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam UU NO.32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan UU No.32 Tahun 2004, yakni UU No.12 Tahun 2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat juga diajukan dari calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Secara ideal tujuan dari dilakukannya pilkada adalah untuk mempercepat konsolidasi demokrasi di Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat terjadinya good governance karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya program desentralisasi.  Daerah telah memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri , bahkan otonomi ini telah sampai pada taraf otonomi individu.
Selain semangat tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang memperkuat pentingnya pilkada adalah: Pertama, dengan Pilkada dimungkinkan untuk mendapatkan kepala daerah yang memiliki kualitas dan akuntabilitas. Kedua, Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal. Ketiga, dengan Pilkada terbuka kemungkinan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan atau daerah.
Sejak diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, mengenai Pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat, telah banyak menimbulkan persoalan, diantaranya waktu yang sangat panjang, sehingga sangat menguras  tenaga dan pikiran, belum lagi biaya yang begitu besar, baik dari segi politik (issue perpecahan internal parpol, issue tentang money politik, issue kecurangan dalam bentuk penggelembungan suara yang melibatkan instansi resmi) , social (issue tentang disintegrasi social walaupun sementara, black campaign dll.)  maupun financial.  Hal ini  kita lihat pada waktu pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah seperti di Daerah Istimewa Aceh, birokrasi dijadikan “kendaraan politis” secara struktural untuk mendukung pemenangan pilkada. Karena wacana pemilihan kepala daerah secara langsung dapat merubah dominasi birokrasi dalam pelayanan masyarakat pada proses pemerintah daerah. Artinya, pemerintah daerah sebagai mitra masyarakat atau fasilitator untuk memecahkan masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik bersama-sama dengan seluruh elemen masyarakat, mengingat tugas pokok dan fungsi birokrasi sebagai aktor pelayanan masyarakat yang netral adil dan apolitis.
Realitasnya birokrasi menjadi penghambat dan sumber masalah berkembangnya keadilan dan demokrasi seperti terjadinya diskriminasi dan penyalahgunaan fasilitas dan dana Negara. Presiden Amerika Serikat Ronald Reagen dan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher menyatakan bahwa pemerintah bukanlah solusi untuk mengatasi penyakit masyarakat, tetapi justru menjadi bagian terbesar dari persoalan masyarakat, sistem pelatanan masyarakat sipil cenderung dibuat terbatas dan birokrasi relatif hanya  melaksanakan tugas rutin sehari-hari (L. Misbah Hidayat, 2007).
Setahun setelah pemilu 2004, pilkada langsung mulai digelar, keinginan dan hasrat dari berbagai kalangan agar pegawai negeri sipil (PNS) tidak terlibat parpol pun kembali dipermasalahkan baik oleh birokrat sendiri, pengamat, pakar maupun elemen-elemen sosial dan politik di masyarakat, hal ini dapat dijelaskan bahwa dari hasil pilkada langsung sejak Juni 2005, sudah menghasilkan lebih dari 270 kepala daerah, hampir 40 persen dimenangkan kalangan birokrat. Birokrat yang notabene adalah PNS memang tidak dilarang mencalonkan diri dalam pilkada (Kompas, 3/1/2007).
Sebagaimana dijelaskan oleh Miftah Thoha (1990), bahwa birokrasi yang bukan merupakan kekuatan politik ini seharusnya dibebaskan dari pengaruh, dan keterjalinan ikatan politik dengan kekuatan-kekuatan politik yang sewaktu-waktu bisa masuk birokrasi, dalam hal seperti ini diharapkan pelayanan kepada masyarakat yang diberikan oleh birokrasi netral, tidak memihak dan objektif. Dengan demikian masalah netralitas birokrasi dalam pilkada dapat dijelaskan dengan berasumsi bahwa pertama, birokrasi sebenarnya cenderung tidak netral, kedua birokrasi harus dapat diusahakan supaya tidak netral, adil dan apolitis.

B.     Rumusan Masalah
1)      Bagaimanakah gambaran umum netralitas birokrasi (PNS) dalam PILKADA Daerah Istimewa Aceh berdasarkan azaz adil dan kepentingan umum?
2)      Apakah kendala kendala dalam menggupayakan netralitas birokrasi (PNS) pada PILKADA Daerah Istimewa Aceh berdasarkan azaz adil dan kepentingan umum?
C.  Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan adalah berusaha untuk menjawab perumusan masalah yang telah dilakukan. Sesuai dengan perumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, maka tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
a.       Mendeskripsikan dan menganalisa netralitas birokrasi (PNS) dalam PILKADA Daerah Istimewa Aceh berdasarkan azaz adil dan kepentingan umum?
b.      Mendeskripsikan dan menganalisa kendala-kendala dalam menggupayakan netralitas (PNS) pada penyelenggaraan PILKADA Daerah Istimewa Aceh?


D.   Manfaat Penulisan
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan nilai (value), baik secara teoritis maupun praktis terhadap bagaimana  netralitas birokrasi dalam PILKADA Daerah Istimewa Aceh berdasarkan azaz adil dan kepentingan umum sebagai suatu langkah didalam penyelenggaraan pemilukada secara adil dan transparan, sehingga dapat dijadikan kajian bagi praktisi, peneliti, akademisi dan pemerintah daerah aceh untuk menambah pengetahuan dalam menyelenggarakan pemilu secara netral. Adapun kontribusi penulisan yang ingin dicapai antara lain :
  1. Manfaat Akademis
a)      Dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran dalam kebijakan atau program-program yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam meningkatkan penyelenggaraan pemilu secara adil dan berkepentingan umum.
b)      Sebagai wacana dan rujukan bagi praktisi, peneliti, dan akademisi dalam menelaah  netralitas birokrasi (PNS) dalam pemilihan kepala daerah di aceh
  1. Kegunaan Praktis
a)      Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah aceh didalam menyelenggarakan pemilu daerah secara adil demi kepentingan umum.
b)      Sebagai bahan diskusi bagi akademisi, praktisi dan peminat administrasi publik khususnya bidang kajian politik pemilihan umum
c)      Memberikan sumbangan pemikiran kepada para ilmuwan dan praktisi tentang netralitas birokrasi (PNS) didalam penyelenggaraan pemilukada secara adil dan berkepentingan umum.








BAB II
KAJIAN TEORI

A.       Pemilihan Umum
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.
ü   Asas dalam Penyelenggaraan Pemilu (UU No 15 Tahun 2011)
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Serta didalam kemudian didalam UU No 15 Tahun 2011 terdapat beberapa perubahan yaitu: Asas penyelenggaraan pemilu yang berpedoman pada beberapa asas yaitu: Mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, propesionalitas, akuntabilitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas
B.       Pemilihan Kepala Daerah
Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum diberlakukannya undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun sejak Juni 2005 Indonesia menganut system pemilihan Kepala Daerah secara langsung.
Pada dasarnya daerah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini berkaitan dengan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang seharusnya sinkron dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, yaitu pemilihan secara langsung. Menurut Rozali Abdullah, (2005, hlm 53-55) beberapa alasan mengapa diharuskan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, adalah:
1)      Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat
Warga masyarakat di daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari warga masyarakat Indonesia secara keseluruhan, yang mereka juga berhak atas kedaulatan yang merupakan hak asasi mereka, yang hak tersebut dijamin dalam konstitusi kita Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Oleh karena itu, warga masyarakat di daerah, berdasarkan kedaulatan yang mereka punya, diberikan hak untuk menentukan nasib daerahnya masing-masing, antara lain dengan memilih Kepala Daerah secara langsung.
2)      Legitimasi yang sama antar Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan DPRD
Sejak Pemilu legislatif 5 april 2004, anggota DPRD dipilih secara langsung oleh rakyat melalui sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tetap dipilih oleh DPRD, bukan dipilih langsung oleh rakyat, maka tingkat legitimasi yang dimiliki DPRD jauh lebih tinggi dari tingkat legitimasi yang dimiliki oleh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3)      Kedudukan yang sejajar antara Kepala Daerah dan wakil daerah dengan DPR
Pasal 16 (2) UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa DPRD, sebagai Badan Legislatif Daerah, berkedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintah daerah. Sementara itu, menurut Pasal 34 (1) UU No. 22 Tahun 1999 Kepala Daerah dipilih oleh DPRD  dan menurut pasal 32 ayat 2 jo pasal 32 ayat 3 UU No.22 Tahun 1999, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD. Logikanya apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD maka kedudukan DPRD lebih tinggi daripada Kepala Daerah. Oleh karena itu, untuk memberikan mitra sejajar dan kedudukan sejajar antar Kepala Daerah dan DPRD maka keduanya harus sama-sama dipilih oleh rakyat
4)      UU No.22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD
Dalam UU diatas, kewenangan DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sudah dicabut.
5)      Mencegah politik uang
Sering kita mendengar isu politik uang dalam proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh DPRD. Masalah politik uang ini terjadi karena begitu besarnya wewenang yang dimiliki oleh DPRD dalam proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Oleh karena itu, apabila dilakukan pemilihan Kepala Daerah secara langsung kemungkinan terjadinya politik uang bisa dicegah atau setidaknya dikurangi.

Undang-undang nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggara pemilihan umum, mengamanatkan bahwa Pilkada dibawa kedalam ranah Pemilihan umum. Sehingga secara resmi dinamakan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pilkada yang pertama kali diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta. Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 56, peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai politik lokal.
Pilkada langsung sebagai pengejawantahan dari demokratisasi lokal telah dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia. Banyak evaluasi dan dan analisa mengenai pelenggaraannya menyimpulkan suatu kondisi yang sama, yaitu  bahwa penyelengaraan Pilkada langsung belum sepenuhnya berjalan sesuai yang diharapkan. Penerapan di lapangan masih menyisakan masalah yang mendasar. Pilkada langsung masih didominasi kelompok elitis tertentu melalui oligarki politik, sehingga pilkada langsung menjadi proses demokratisasi semu. Partisipasi masyarakat lebih bersifat di mobilisasi. Hal ini sama halnya dengan proses politik sebagai suatu penguatan demokrasi lokal masih belum terjadi, justru konflik-konflik horizontal yang mengarah kepada anarkisme cenderung sering terjadi, yang disinyalir sebagai akibat dari adanya berbagai kelemahan dalam tata peraturan penyelenggaraannya, dan munculnya berbagai manipulasi dan kecurangan.
Menurut Silahuddin dkk, permasalahan – permasalahan yang timbul selama penyelenggaraan pilkada langsung, yaitu :
a.       Permasalahan kelembagaan pilkada langsung
Permasalahan ini berkaitan erat dengan KPUD sebagai penyelenggara Pilkada, pengawas ( PANWAS ) serta dukungan pemerintah daerah selama pilkada berlangsung.
b.      Permasalahan dalam tahapan persiapan pilkada langsung
Permasalahan krusial yang kerap terjadi selama pilkada antara lain adalah sempitnya masa pemberitahuan dari DPRD kepada Kepala Daerah dan KPUD tentang masa berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah, masalah pemantauan pilkada langsung, masalah sosialisasi.
c.       (Permasalahan dalam tahapan pelaksaan) pilkada langsung
Lemahnya pemutakhiran data pemilih, mekanisme pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, pelanggaran kampanye, manajemen logistic pilkada, masalah money politic, masalah pendanaan dan pertanggung jawabannya, hal tersebut diatas merupakan masalah krusial pada tahapan pelaksanaan pilkada langsung

C.       Netralitas PNS
Secara teoritik, wacana  netralitas PNS dalam politik (baik politik lokal maupun nasional) merupakan tema lama yang selalu aktual untuk dibicarakan. Terlebih di tengah era pilkada langsung selalu ada perkembangan menarik yang terkait dengan peran, posisi dan tanggungjawab PNS. Pada dasarnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) di negara manapun mempunyai tiga peran yang serupa.
Pertama, sebagai pelaksana peraturan dan perundangan yang telah ditetapkan pemerintah. Untuk mengemban tugas ini, netralitas PNS sangat diperlukan.
Kedua, melakukan fungsi manajemen pelayanan publik. Ukuran yang dipakai untuk mengevaluasi peran ini adalah seberapa jauh masyarakat puas atas pelayanan yang diberikan PNS. Tujuan utama otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga PNS pada daerah-daerah tersebut mengerti benar keinginan dan harapan masyarakat setempat.
Ketiga, PNS harus mampu mengelola pemerintahan. Artinya pelayanan pada pemerintah merupakan fungsi utama PNS. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah harus dapat dimengerti dan dipahami oleh setiap PNS sehingga dapat dilaksanakan dan disosialisasikan sesuai dengan tujuan kebijakan tersebut.
Pengertian PNS netral bukan berarti birokrat mengisolasi diri dengan tutup mata, tutup telinga dari dunia politik. PNS dituntut mengikuti perkembangan politik sehingga memperoleh informasi cukup untuk menjatuhkan pilihan secara tepat terhadap partai politik atau calon dalam pilkada. PNS sebagai bagian dari pejabat eksekutif tidak bisa terlepas dari pengaruh politik. Karena menyangkut dinamika realitas pemerintahan yang hampir setiap saat terjadi dalam praktik politik Misalnya, saat pembahasan usulan APBD atau usulan kebijakan seperti peraturan daerah (perda) dengan legislatif. Setelah semua argumentasi disampaikan pejabat eksekutif, masih bisa dimentahkan legislatif.
 Itu sebabnya pejabat eksekutif tidak boleh buta politik agar mampu melakukan lobi, adu argumentasi, dan menyampaikan fakta serta data secara meyakinkan, sehingga mampu menghasilkan kebijakan yang berkualitas serta di dukung wakil rakyat di legislatif. PNS juga harus aktif menjadi pemilih dan memberikan sosialisasi kepada keluarga dan lingkungannya tentang pilkada, sehingga bisa mengurangi angka golput. Netralitas mengharuskan PNS tidak menyatakan dukungan secara terang-terangan di depan publik, tidak melibatkan diri, dan tidak berpihak, serta  tidak membantu salah satu partai politik atau kandidat yang bersaing dalam pilkada.
Netralitas PNS menjadi penting karena semakin banyaknya pejabat negara mulai dari presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota, yang berasal dari partai politik. Kondisi ini akan membawa implikasi serius terhadap netralitas birokrat. PNS dituntut bertindak profesional antara menjaga netralitas dalam memberikan pelayanan sekaligus tetap menjunjung loyalitas terhadap atasan, meskipun beda warna politiknya. Sehingga PNS tidak mudah terbawa arus pusaran politik atau terkooptasi oleh kepentingan politik atasannya.

D.       Prinsip Netralitas PNS
Netralitas berasal dari kata “netral” yang berarti tidak membantu atau tidak mengikuti salah satu pihak, dan netralitas adalah sikap netral (Poerwadarminta, 1976:675). Berdasarkan pengertian itu maka dapat diketahui bahwa seseorang dikatakan netral apabila ia tidak memihak kepada dua atau lebih orang atau memihak kepada organisasi atau lembaga dalam penentuan sesuatu misalnya organisasi partai politik.
Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, dalam Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan dari partai politik. Dan dalam ayat (3) ditegaskan bahwa untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik.
Untuk menjaga agar netralitas PNS dalam suatu kehidupan politik yang lebih dinamis, sistem kepegawaian yang ada harus mampu mempertahankan prinsip netralitas dengan cara memisahkan secara tegas antara jabatan negara dengan jabatan negeri dan jabatan pada  lembaga khusus yang dibentuk dengan peraturan perundangan. Jabatan negeri dan jabatan pada lembaga khusus tersebut adalah jabatan karier untuk para pegawai negara profesional. Di Korea Selatan, seorang yang dinyatakan lulus sebagai pegawai pemerintah, maka penentuan karirnya sangat ditentukan oleh indeks prestasi (IP) kelulusannya di perguruan tinggi. Bila IP-nya lebih tinggi dari calaon pegawai lain yang juga dinyatakan lulus, maka ia dipersilahkan untuk memilih di mana (atau di kantor mana) ia akan bekerja sesuai dengan profesionalitasnya. Ini menunjukkan bahwa ia tidak terkooptasi dengan kebijakan departemental, tetapi terpilih secara nasional karena prestasinya di perguruan tinggi dan dapat dipastikan netral karena pekerjaan ia sendiri yang memilih, bukan ditentukan berdasarkan formasi. Berbeda dengan di Indonesia, kelulusan berdasarkan kuota, bukan berdasarkan kecerdasan intelektual.
Selanjutnya, untuk mempercepat dan menjamin pembangunan profesionalitas pada aparatur negara, netralitas aparatur negara dari kegiatan poltik harus dijaga. Dengan adanya netralitas tersebut, aparatur negara tidak terlalu perlu mengalami kegelisahan yang berarti bila terjadi pergantian pejabat pemerintahan.

E.        Pilkada dan Netralitas Birokrasi
Netralitas birokrasi adalah birokrasi pemerintah yang tidak memihak kepada kekuatan politik dan golongan yang dominan istilah politiknya disebut apolitic, agar eternal pelayanan dan pengabdiannya kepada pemerintah dan kepada seluruh masyarakat atau sebagai abdi negara dan abdi rakyat (Miftah Thoha, 1990).
Secara etimologis birokrasi berasal dari kata “biro” (bureau) yang berarti kantor, dan kata “krasi” (cracy, kratie) yang berarti pemerintahan (Ramlan Surbakti, 1992), dalam literature ilmu sosial birokrasi umumnya dipandang sebagai aktor yang sekedar menerapkan kebijaksanaan yang telah diputuskan ditempat lain, dan mendominasi kegiatan administrasi pemerintahan, tetapi juga kehidupan politik masyarakat secara keseluruhan (Mohtar Mas’oed, 1994).
Pilkada merupakan sarana pelaksanan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah (PPRI No 6 tahun 2005, pasal 1 ayat 1). Sedangkan kepala dan wakil daerah adalah gubernur.wakil gubernur untuk provinsi, bupati, dan wakil bupati untuk kabupaten serta waklikota/wakil walikota untuk kota (PPRI No 6 tahun 2005, pasal 1 ayat 2).

F.        Akibat Ketidaknetralan PNS
Dalam praktik, tercatat ada tiga bentuk pelanggaran yang dilakukan PNS dan pejabat pemerintahan dalam pemilu (Prasojo, Kompas 3 Maret 2009) yaitu pertama, penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki, antara lain menerbitkan aturan yang mewajibkan kampanye kepada bawahan, pengumpulan dana bagi parpol tertentu, pemberian izin usaha disertai tuntutan dukungan kepada parpol/caleg tertentu, penggunaan bantuan pemerintah untuk kampanye, mengubah biaya perjalanan dinas, dan memaksa bawahan membiayai kampanye parpol/caleg dari anggaran negara.
Kedua, penggunaan fasilitas negara secara langsung, misalnya penggunaan kendaraan dinas, rumah dinas, serta kantor pemerintah dan kelengkapannya dan ketiga, pemberian dukungan lain, seperti bantuan sumbangan, kampanye terselubung, memasang atribut parpol/caleg di kantor, memakai atribut parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye dengan menggunakan pakaian dinas dan kelengkapannya, serta pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan perlakuan tidak adil/diskriminatif atas penggunaan fasilitas negara kepada parpol/caleg.

G.       Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah instrument perencanaaan strategis yang klasik. Dengan menggunakan kerangka kerja kekuatan dan kelemahan dan kesempatan ekternal dan ancaman, instrument ini memberikan cara  sederhana untuk memperkirakan cara terbaik untuk melaksanakan sebuah strategi. Instrumen ini menolong para perencana apa yang bisa dicapai, dan hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan oleh para perumus kebijakan.
·                                                   Analisis SWOT terdiri dari empat faktor, yaitu:
ü  Strengths (kekuatan)
merupakan kondisi kekuatan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada. Kekuatan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam  tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. Artinya faktor yang menjadikan birokrasi pegawai negeri sipil tidak netral secara politik adalah bahwa mereka cenderung dijadikan kendaraan politik yang tidak adil dan berlandaskan kepentingan umum didalam menyelenggarakan tugasnya sebagai pelayan kepada masyarakat.
ü  Weakness (kelemahan)
merupakan kondisi kelemahan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada.Kelemahan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam  tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.Yaitu pada dasarnya pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di aceh apartur birokrasi terutama pegawai negeri sipil masih kurang professional  artian disini birokrasi lebih dijadikan “kendaraan politis” secara struktural untuk mendukung pemenangan pilkada. Karena wacana pemilihan kepala daerah secara langsung dapat merubah dominasi birokrasi dalam pelayanan masyarakat pada proses pemerintah daerah, karena seharusnya bahwa birokrasi tersebut harus netral secara politik.
ü  Opportunities (peluang)
merupakan kondisi peluang berkembang di masa datang yang terjadi. Kondisi yang terjadi merupakan peluang dari luar organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. misalnya kompetitor, kebijakan pemerintah, kondisi lingkungan sekitar. Artinya ketika birokrasi terutama pegawai negeri tersebut dijadikan roda penggerak politik maka dipastikan akan banyak memberikan suatu keuntungan kepada kelompok tertentu, secara struktural untuk mendukung pemenangan pilkada. Karena wacana pemilihan kepala daerah secara langsung dapat merubah dominasi birokrasi dalam pelayanan masyarakat pada proses pemerintah daerah. sehingga nantinya didalam menjalankan tugasnya sebagai pemberi layanan kepada masyarakatpun cenderung  juga tidak adil, karena seharusnaya birokrasi harus netral dan apolitis.
ü  Threats (ancaman)
merupakan kondisi yang mengancam dari luar. Ancaman ini dapat mengganggu organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. Artinya ada banyak dampak yang ditimbulkan ketika PNS itu tidak adil didalam melaksanakan pelayanan public karena mereka cenderung tidak netral secara politik karena aka nada golongan tertentu yang diuntungkan dan juga tidak sedikit yang dirugikan. Selain itu Faktor vested-interest yaitu kepentingan memelihara dan meningkatkan posisi karir/jabatan, juga kepentingan jaringan bisnis dan politik oleh shadow-bureaucracy tampak menjadi faktor dominan yang mendorong birokrasi masih berpolitik dalam pilkada langsung. Sebagian PNS masih berspekulasi menjadi tim sukses dengan harapan jika kandidat yang ia dukung menang, ia bisa mendapat posisi yang lebih penting atau pimpinan proyek. Bila kandidat yang didukung menang pilkada, mereka bisa ”menggusur” posisi birokrat yang netral (non-partisan).


















BAB III
PEMBAHASAN

  1. Gambaran umum netralitas birokrasi (PNS) dalam PILKADA Daerah Istimewa Aceh Berdasarkan Azaz Adil dan Kepentingan Umum
Pemilihan umum kepala daerah merupakan suatu pesta rakyat yang diselenggarakan untuk memilih calon pemimpin, baik dalam ranah kabupaten maupun kota. Sesuai dengan azas pemilu yang Jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia (Jurdil Luber), maka diharapkan pelaksanaan Pemilu itu sendiri dapat berjalan secara netral dan tidak bersifat diskriminatif. Dengan adanya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dari KPU yang mengawasi jalannya pelaksanaan pemilu dapat dikatakan pelaksanaan Pemilu sudah profesional dan netral.
Tetapi, pada faktanya di lapangan, tidak semua pelaksanaan Pemilihan Umum calon pemimpin di suatu daerah bebas dari praktek – praktek kotor. Pemilihan Umum yang berlangsung di Aceh diharapkan oleh sebagian besar masyarakat justru dinodai dengan praktek – praktek kecurangan dari pihak tim sukses maupun kecurangan dalam penghitungan suara. Hal ini merupakan suatu gambaran yang pilu bagi Pemilihan Umum di Indonesia, khususnya di Aceh, karena Pemilihan Umum yang diusung dengan azas keadilan dan netralitas ternyata dalam menyukseskannya harus dibayar dengan kecurangan.
Berbagai macam bentuk kecurangan yang terjadi dalam Pemilihan Umum di daerah Aceh. Salah satunya adanya keterlibatan oknum PNS dalam menyukseskan PEMILUKADA di Aceh. Dalam website Pemerintah Lhokseumawe (www.lhokseumawekota.go.id) pada tanggal 26 Maret 2012 Penanggung Jawab (PJ) Walikota menemukan sedikitnya 2 kasus pelanggaran dalam PEMILUKADA :
“Pj Walikota Lhokseumawe menemukan sedikitnya dua pelanggaran pemilukada dilakukan pengawai negeri sipil di lingkungan pemko. 2 kasus tersebut di-indikasikan beberapa oknum PNS terlibat aktif mendukung salah satu calon walikota. Sampai saat ini pihaknya tengah mempelajari kasus tersebut hingga sangsi yang akan dijatuhkan. 2 oknum PNS itu salah satunya guru, dari tangan oknum tersebut Pj walikota menemukan sms justru menuding Drs. Ariffin Abdullah selaku Pj walikota terlibat mendukung salah satu calon . Sedangkan satu kasus lagi melibatkan PNS dilingkungan pemko, oknum tersebut dengan sengaja melibatkan diri mempromosikan salah satu calon, menempelkan salah satu gambar calon walikota. Bahkan ada juga pegawai honor menempel stiker calon walikota di kendaraan dinas.”
Berdasarkan UU RI No 43 tahun 1999 tentang perubahan atas UU RI No 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian pasal 3 ayat 1 menjelaskan bahwa PNS berkedudukan sebagai unsure aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Pasal 3 ayat 2 dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dengan ayat 1, PNS harus netral dari pengaruh semua golongan dan parpol, serta tindak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan pada Pasal 3 ayat 3 untuk menjamin netralitas PNS sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, PNS dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus parpol.
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa birokrasi atau PNS dibolehkan mencalonkan pilkada, hal ini didukung oleh peraturan tersebut di atas yang diberikan kesempatan oleh parpol atau gabungan parpol (pasal 59 ayat 3), jika dikaitkan dengan netralitas birokrasi dalam pilkada, terbukti birokrasi yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah berarti tidak netral, karena harus melalui parpol dan gabungan parpol (Pasal 59 ayat 1), dan juga diberikan kesempatan tetap berstatus sebagai PNS, karena hanya mengundurkan diri dari jabatan negeri yakni jabatan struktural dan jabatan fungsional (Pasal 59 ayat 5 (g), oleh karena itu, secara individu dijamin hak azasi manusianya. PNS atau birokrasi yang mencalonkan diri dalam pilkada, terbukti melanggar UU RI No 43 tahun 1999 pasal 3 ayat 1, 2, dan 3 karena tidak profesional mengingat jabatan pilkada adalah jabatan politik, sedangkan jabatan PNS adalah jabatan karir administratif sebagai pelayan masyarakat yang harus netral, sedangkan jabatan pilkada terkait dengan parpol atau gabungan parpol, dengan demikian melanggar pasal 3 ayat 2 dan ayat 3, sehingga secara institusional birokrasi atau PNS dibatasi hak politiknya.
Dapat dilihat dari penjelasan mengenai keterlibatan birokrasi / PNS dalam keikutsertaan dalam Pemilihan Umum. Dengan adanya keberpihakan suatu oknum pemerintahan dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah merupakan suatu bentuk dari ketidakadilan dalam Pemilu, dimana masih adanya para oknum pemerintahan di Aceh yang menggunakan kekuasaannya sebagai “roda penggerak” dalam menyukseskan suatu kelompok dalam kancah perpolitikan. Dijelaskan dalam Undang – Undang Kepegawaian bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak boleh berpihak kepada satu pihak dan harus bersikap netral dalam menjalankan tugas dan juga dilarang menjadi anggota dan / atau pengurus parpol.
Selain dari permasalahan diatas, adanya suatu pelanggaran – pelanggaran lainnya yang melibatkan oknum – oknum pemerintahan, seperti adanya petugas penyelenggara tingkat desa, kecamatan, kabupaten tidak bertindak netral dalam menjalankan tugas penyelenggaraan PEMILUKADA dan adanya penggunaan dana APBK untuk menjalankan kampanye. Pada permasalahan diatas, dapat dijelaskan bahwa masih tidak berlakunya azas keadilan dalam Pemilihan Umum yang diselenggarakan di Aceh, dengan adanya keikutsertaan dari oknum – oknum pemerintahan, maka pelaksanaan dari pemilihan umum bersifat lebih mengedepankan kepentingan kelompok dibandingkan kepentingan umum. Karena banyak dari oknum pemerintahan yang menyalahgunakan wewenang dalam menjalankan tugasnya untuk mendukung salah satu calon kandidat dalam PEMILUKADA.  

  1. Kendala-kendala dalam menggupayakan netralitas birokrasi (PNS) pada PILKADA Daerah Istimewa Aceh berdasarkan azaz adil dan kepentingan umum
Kalau  lihat dari berbagai sisi bahwa semua stakeholder ingin mengupayakan pentingnya untuk melihat proses Pilkada sebagai bagian integral dari proses demokratisasi di Indonesia,  dengan mengupayakan semua penyelenggaraan pemilu yang berdasarkan azas-azas pemilu yang berdasarkan uu no. 15 tahun 2011 yang terdiri dari mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesuionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas, namun ketika melihat berbagai permasalahan di daerah istimewa aceh tentang netralitas birokrasi PNS yang cenderung menjadi” roda politik” . bagaimana birokrasi yang seharusnya melayani masyarakat malah terjun dalam ranah politik yang cenderung tidaka netral, sehingga dirasa perlu untuk mengembalikan citra birokrasi yang harus netral secara politik, namun upaya tersebut dirasakan sangat tidak mudah karena banyak berbagai factor yang menjadi kendala didalam mengupayakan birokrasi yang netral secara politik dan melayani masyarakat secara lebih adil dan berasaskan kepentingan umum.
1.      Kendala Politik
Kondisi politik di Indonesia pada saat ini, baik di infrastruktur maupun suprastruktur masih belum stabil, kompetisi antar partai politik tidak dilakukan dengan sehat tetapi dengan menggunakan cara dan strategi yang dapat menimbulkan konflik baru. Kedewasaan para elite politik yang masih sangat memprihatinkan dan memberikan contoh yang kurang baik bagi masyarakat menjadi salah satu hal yang menciptakan kondisi politik seperti itu di Indonesia. Dengan kondisi seperti itu Politik yang biasanya sebagai pengendali birokrasi tidak bisa menjalankan perannya secara optimal. Bahkan para  elite politik yang berkuasa menghendaki birokrasi menjadi miliknya yang akan dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan. Politik terhadap Birokrasi yang begitu kuat baik dari legislatif terlebih dari pimpinan eksekutif menimbulkan netralitas birokrasi hanya dalam tatanan konsep.
Namun demikian birokrasi tidak bisa dikuasai dengan mudah, birokrasi yang telah dibentuk sejak sebelum kemerdekaan dan telah memiliki pola pikir tersendiri. Sehingga pergantian elite politik atau rejim yang berkuasa tidak serta merta akan merubah pola pikir dan kebiasaan yang ada pada birokrasi. Bahkan tidak tertutup kemungkinan para elite politik akan tergiring atau terbawa arus pada pola pikir dan kebiasaan birokrasi. Kebijakan-kebijakan yang reformis di tingkat elite politik tidak bisa diturunkan atau dilaksanakan di lapangan karena Birokrasi memiliki kebijaksanaan dan kepentingan tersendiri. Akhirnya kebijakan-kebijakan tersebut tidak pernah dapat direalisasikan.
2.      Kendala Dalam Sistem Birokrasi
Sistem, prosedur dan kebiasaan yang sekian lama tertanam dan terbentuk dalam Birokrasi tidak serta merta dapat dirubah, daya resistensi yang begitu tinggi terutama dari elite-elite birokrasi yang telah menikmati keuntungan-keuntungan dari sistem yang ada menjadikan ingin tetap mempertahankannya. Adanya resistensi tersebut diperkuat dengan suatu aturan yang menempatkan kekuasaan tersentralisir di tangan pimpinan tertinggi organisasi. Perubahan sulit dilakukan dari bawah karena akhirnya bermuara ke atas dan yang menentukan adalah dari atas/pimpinan. Ide dan gagasan yang konstruktif dan reformatif dari bawah akan menghasilkan kebijakan dan kebijaksanaan konservatif yang defensif dari atas.
3.      Kendala Sosial Budaya
Aspek sosial budaya baik yang ada dalam birokrasi maupun yang melingkupi birokrasi turut serta berperan dalam mempengaruhi proses reformasi birokrasi, tanpa dukungan sosial budaya proses reformasi akan sulit dilakukan. Kegagalan penerapan sistem-sistem barat yang diadopsi negara berkembang disebabkan oleh tidak sinkron atau kurang memperhatikan aspek sosial budaya.
Aspek sosial budaya yang ada akan membentuk perilaku dan pola pikir aparat birokrasi dan masyarakat. Perilaku dan pola pikir yang berkembang di masyarakat dan aparat birokrasi yang kurang mendukung antara lain :
a)      Budaya kita yang terlalu mengagung-agungkan simbol, mendorong birokrasi kita lebih menonjolkan aspek formalitas. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan asal dapat terlaksana kualitas pekerjaan tidak menjadi perhatian. Begitu juga halnya orang melihat orang lain bukan didasarkan pada keahliannya tetapi kepada sertifikat/ijazah (simbol) yang dimilikinya.
b)      Kesuksesan seseorang hanya dilihat dari aspek materi, orang akan lebih menghormati orang yang memiliki kekayaan dari pada yang biasa-bisa sehingga pelayanan yang diberikan akan berbeda-beda.
c)      Budaya Paternalisme dan senioritas, pimpinan selalu dianggap yang serba tahu dan harus memberikan suri tauladan dan bawahan akan berpatokan pada contoh-contoh yang diberikan pimpinannya. Untuk menjadi pimpinan dilakukan dengan pendekatan senioritas dengan asumsi orang yang lebih tua telah memiliki asam garam yang lebih banyak dan tentu saja akan memiliki keahlian dan kemampuan yang lebih baik.
d)     Budaya kekerabatan (nepotisme) yang kental dalam masyarakat kita dan dalam birokrasi kita, penerapannya dilakukan secara buta tanpa memandang aspek atau faktor yang lain. Dalam prakteknya pengangkatan pejabat atau penerimaan pegawai tanpa memandang keahlian dan kemampuan tapi hanya melihat siapa dia apakah kerabat atau bukan kerabat.
e)      Budaya permisif, masyarakat terkadang terlalu mentolelir kelakuan-kelakuan yang menyimpang sehingga menjadi kebiasaan dan orang tidak takut melakukannya bahkan karena dibiarkan menjadi dianggap benar dan orang lain ikut melakukannya.
Dengan dipetakannya dan dipahaminya Kendala dan permasalahan yang dihadapi, kemudian dibandingkan dengan kondisi ideal yang ingin diwujudkan yakni netralitas birokrasi (PNS) pada PILKADA Daerah Istimewa Aceh, maka akan diketahui positioning Birokrasi Indonesia.  Didasarkan pada kenyataan tersebut maka langkah netralitas birokrasi (PNS) harus dilakukan secara terintegrasi dan terpadu serta dilakukan secara sistematis. Untuk itu langkah berikutnya adalah merumuskan dan menetapkan Grand Design (Blue Print) dalam pelaksaan PILKADA Daerah Istimewa Aceh  sebagai rencana strategis dalam menata birokrasi
















BAB IV
PENUTUP

  1. KESIMPULAN
Keterlibatan birokrasi khususnya PNS dalam keikutsertaan dalam Pemilihan Umum. Dengan adanya keberpihakan suatu oknum pemerintahan dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah merupakan suatu bentuk dari ketidakadilan dalam Pemilu, dimana masih adanya para oknum pemerintahan di Aceh yang menggunakan kekuasaannya sebagai “roda penggerak” dalam menyukseskan suatu kelompok dalam kancah perpolitikan. Dijelaskan dalam Undang – Undang Kepegawaian bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak boleh berpihak kepada satu pihak dan harus bersikap netral dalam menjalankan tugas dan juga dilarang menjadi anggota atau pengurus parpol.
Analisis SWOT Sebagai instrument perencanaaan strategis yang klasik. Dengan menggunakan kerangka kerja kekuatan dan kelemahan dan kesempatan ekternal dan ancaman, instrument ini memberikan cara  sederhana untuk memperkirakan cara terbaik untuk melaksanakan sebuah strategi. Instrumen ini menolong para perencana apa yang bisa dicapai, dan hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan oleh para perumus kebijakan terutama dalam hal mengedepankan netralitas dalam PILKADA.
·                                                   Analisis SWOT terdiri dari empat faktor, yaitu:
ü  Strengths (kekuatan)
merupakan kondisi kekuatan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada. Kekuatan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam  tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. Artinya faktor yang menjadikan birokrasi pegawai negeri sipil tidak netral secara politik adalah bahwa mereka cenderung dijadikan kendaraan politik yang tidak adil dan berlandaskan kepentingan umum didalam menyelenggarakan tugasnya sebagai pelayan kepada masyarakat.
ü  Weakness (kelemahan)
merupakan kondisi kelemahan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada.Kelemahan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam  tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.Yaitu pada dasarnya pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di aceh apartur birokrasi terutama pegawai negeri sipil masih kurang professional  artian disini birokrasi lebih dijadikan “kendaraan politis” secara struktural untuk mendukung pemenangan pilkada. Karena wacana pemilihan kepala daerah secara langsung dapat merubah dominasi birokrasi dalam pelayanan masyarakat pada proses pemerintah daerah, karena seharusnya bahwa birokrasi tersebut harus netral secara politik.
ü  Opportunities (peluang)
merupakan kondisi peluang berkembang di masa datang yang terjadi. Kondisi yang terjadi merupakan peluang dari luar organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. misalnya kompetitor, kebijakan pemerintah, kondisi lingkungan sekitar. Artinya ketika birokrasi terutama pegawai negeri tersebut dijadikan roda penggerak politik maka dipastikan akan banyak memberikan suatu keuntungan kepada kelompok tertentu, secara struktural untuk mendukung pemenangan pilkada. Karena wacana pemilihan kepala daerah secara langsung dapat merubah dominasi birokrasi dalam pelayanan masyarakat pada proses pemerintah daerah. sehingga nantinya didalam menjalankan tugasnya sebagai pemberi layanan kepada masyarakatpun cenderung  juga tidak adil, karena seharusnaya birokrasi harus netral dan apolitis.
ü  Threats (ancaman)
merupakan kondisi yang mengancam dari luar. Ancaman ini dapat mengganggu organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. Artinya ada banyak dampak yang ditimbulkan ketika PNS itu tidak adil didalam melaksanakan pelayanan public karena mereka cenderung tidak netral secara politik karena aka nada golongan tertentu yang diuntungkan dan juga tidak sedikit yang dirugikan. Selain itu Faktor vested-interest yaitu kepentingan memelihara dan meningkatkan posisi karir/jabatan, juga kepentingan jaringan bisnis dan politik oleh shadow-bureaucracy tampak menjadi faktor dominan yang mendorong birokrasi masih berpolitik dalam pilkada langsung. Sebagian PNS masih berspekulasi menjadi tim sukses dengan harapan jika kandidat yang ia dukung menang, ia bisa mendapat posisi yang lebih penting atau pimpinan proyek. Bila kandidat yang didukung menang pilkada, mereka bisa ”menggusur” posisi birokrat yang netral (non-partisan).

Daftar Pustaka
Ari Pradhanawati, 2005, Pilkada Langsung, Tradisi Baru Demokrasi Lokal, Surakarta, KOMPIP.
Bambang Kuncoro, netralitas birokrasi dalam pemilukada. Jurnal Ilmu Politik UNSOED Purwokerto, Swara Politika Vol 10, No.1. 2007).
Prasojo, Eko. Demokrasi Di Negeri Mimpi: Catatan Kritis terhadap Pemilu 2004 dan Good Governance. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Jakarta: 2005.

Referensi lain:
regional.kompas.com/read/2012/03/13/.../PNS.Jangan.Memihak., diakses 5 mei 2012
aceh.tribunnews.com/.../mendagri-pilkada-aceh-harus-bebas-intimida.., diakses 5 mei 2012.
Tabloid berita mingguan modus aceh (rakyat aceh memilih), 9-15 april 2012
Undang-undang dasar 1945
Undang-undang no.15 tahun 2011 tentang penyelenggaraan pemilu
Undang-undang no.32 tahun 2004 tentang peerintahan daerah






1 komentar: